Ada netizen yang berseloroh, tersebab pandemi corona, menjelang Ramadlan 2020 ini semua mendadak semua menjadi Muhammadiyah. Tidak ada kenduri megengan malam Ramadhan. Tidak perlu membawa ambengan ke langgar dan masjid. Tidak ada nasi berkat yang dibawa pulang.
Megengan
Megengan berasal dari kata dalam bahasa Jawa ‘megeng’ yang artinya menahan. Dalam konteks ini, megengan memiliki filosofi menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, amarah dan hawa nafsu lainnya yang tidak diperbolehkan selagi menjalankan ibadah puasa.
Masih belum diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi ini lahir dan mulai berkembang di masyarakat. Menurut Prof. Dr. Nursyam, M.Si, akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh para Wali Sanga, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga.
Wali sanga memang dikenal ramah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Mereka banyak menggunakan cara-cara simbolik yang dekat dengan budaya masyarakat saat itu. Tradisi megengan sendiri disinyalir merupakan akulturasi antara budaya yang kental dengan masyarakat Jawa dan ajaran Islam.
Alasan wali sanga menggunakan akulturasi budaya dalam proses dakwahnya adalah, karena di masa-masa awal penyebaran agama Islam di Nusantara, masyarakat masih sangat kental dengan beragam tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan mereka.
Jika Islam diajarkan secara frontal, dikhawatirkan masyarakat akan menolak kehadirannya. Di situlah bukti kreativitas wali sanga. Mereka sangat piawai membungkus dakwahnya dengan berbagai hal yang dekat dengan masyarakat.
Begitu pula dengan megengan yang dibungkus melalui tradisi upacara atau slametan yang sudah umum berkembang di masyarakat kala itu. Bila ditilik lebih jauh simbol-simbol yang ada dalam tradisi tersebut, makna sebenarnya adalah, “Melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam
, menurut Riyadi, dosen pendidikan sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa), tradisi megengan lahir pada masa Kerajaan Islam Demak berkuasa, sekitar tahun 1.500 Masehi. Saat itu, tradisi ini berupa slametan atau kenduri.
Tradisi kenduri sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Namun, dalam megengan, kenduri dibarengi dengan kegiatan doa bersama yang ditujukan untuk keluarga dan nenek moyang yang sudah meninggal. Untuk waktu pelaksanaannya, biasa dilakukan pada minggu terakhir bulan Sya’ban, menjelang masuknya Ramadan.
Megengan biasanya digelar di masjid atau langgar setempat. Setiap warga yang tinggal di sekitar langgar membawa nasi beserta lauk pauknya (Jw: sego berkat) untuk di makan bersama. Dalam prosesinya, ada satu makanan khusus yang tidak boleh absen dari tradisi megengan, yaitu kue apem.
Kue yang terbuat dari tepung beras itu, menjadi menu wajib dalam upacara tersebut. Kue apem merupakan simbol peremohonan ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama setahun lalu.
Berdasarkan terminologi yang berkembang di masyarakat, apem berasal dari kata dalam bahasa Arab ‘afwan’ yang berarti maaf atau ampunan. "Dulu Apem menjadi makanan elit keraton. Ini bisa dijumpai pada Kerajaan Pajang. Kue berbahan dasar tepung beras ini menjadi kue wajib dalam penyelenggaraan Megengan,
tata cara prosesi megengan, sebelum kue apem dan sego berkat dimakan bersama-sama. Warga yang hadir biasanya membaca tahlil dan doa permohonan ampun terlebih dahulu.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan megengan itu sendiri, yaitu agar manusia disucikan lahir dan batin dari segala dosa. Dengan begitu, warga bisa lebih tenang dan lapang dada dalam menjalani seluruh ibadah di bulan Ramadan.
Pemprov Jawa Timur akan menggelar megengan secara daring (online). Dalam kegiatan ini, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa akan melakukan video conference dengan sejumlah kepala daerah di Jawa Timur.
“Secara simbolik kami siapkan 1.441 apem. Karena tahun ini 1441 Hijriah. Sekedar penanda, karena apem itu ‘afwun, saling memaafkan. Sebelum Ramadan kita saling memaafkan
Megengan online yang diinisiasi oleh Pemprov Jawa Timur ini menunjukkan, meski dalam kondisi yang terbatas akibat pandemi Covid-19 pun, tradisi tetap bisa dilakukan. Perpaduan antara budaya tradisional dan teknologi komunikasi, ternyata tidak mengurangi substansi dari megengan itu sendiri.
Berbeda dari tahun sebelumnya, tradisi Dugderan di Kota Semarang digelar secara sederhana di Masjid Agung Semarang yang dikenal sebagai Masjid Kauman
Dugderan merupakan festival tahunan dari Kota Semarang yang diadakan seminggu sebelum bulan suci Ramadhan. Dugderan sudah dilaksanakan sejak tahun 1882 saat Semarang berada dibawah kepemimpinan R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Sejak masa kolonial, perayaan dugderan dipusatkan di Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang (Masjid Kauman) yang berada di kawasan Kota Lama Semarang dekat Pasar Johar.
Megengan tradisi masyarakat jawa pada umumnya khususnya di jawa tengah, jawa timur, dan yogyakarta dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan
Megeng berarti menahan diri. Mengenali jati diri. Terkendali di jalan Ilahi. Megengan wujud syukur menyambut bulan Ramadhan suci, dg silaturahim & memaafkan. Tersimbol dalam ritus kue ‘afwan. Lisan Jawa jd apem
tiap menjelang Ramadan ada tradisi ‘punggahan’ atau ‘megengan’. Tiap rumah bawa makanan ke masjid/musholla buat didoain bareng.
Megengan ala covid-19. Didongani sendiri, diantar ke tetangga satu per satu. biasane cukup dibawa ke musala...
Kue apem merupkyn simbol permohonan ampun untuk segala dosa & kesalahan yg pernah diperbuat. Kue Apem biasa dihadirkan dlm ritual 'Megengan'. Megengan dilaksanakan dlm menyambut datangnya bulan suci Ramadhan & sbg bentuk syukur atas nikmat yg diberikan oleh Allah SWT.
Megengan berasal dari kata dalam bahasa Jawa ‘megeng’ yang artinya menahan. Dalam konteks ini, megengan memiliki filosofi menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, amarah dan hawa nafsu lainnya yang tidak diperbolehkan selagi menjalankan ibadah puasa.
Masih belum diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi ini lahir dan mulai berkembang di masyarakat. Menurut Prof. Dr. Nursyam, M.Si, akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh para Wali Sanga, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga.
Wali sanga memang dikenal ramah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Mereka banyak menggunakan cara-cara simbolik yang dekat dengan budaya masyarakat saat itu. Tradisi megengan sendiri disinyalir merupakan akulturasi antara budaya yang kental dengan masyarakat Jawa dan ajaran Islam.
Alasan wali sanga menggunakan akulturasi budaya dalam proses dakwahnya adalah, karena di masa-masa awal penyebaran agama Islam di Nusantara, masyarakat masih sangat kental dengan beragam tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan mereka.
Jika Islam diajarkan secara frontal, dikhawatirkan masyarakat akan menolak kehadirannya. Di situlah bukti kreativitas wali sanga. Mereka sangat piawai membungkus dakwahnya dengan berbagai hal yang dekat dengan masyarakat.
Begitu pula dengan megengan yang dibungkus melalui tradisi upacara atau slametan yang sudah umum berkembang di masyarakat kala itu. Bila ditilik lebih jauh simbol-simbol yang ada dalam tradisi tersebut, makna sebenarnya adalah, “Melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam
, menurut Riyadi, dosen pendidikan sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa), tradisi megengan lahir pada masa Kerajaan Islam Demak berkuasa, sekitar tahun 1.500 Masehi. Saat itu, tradisi ini berupa slametan atau kenduri.
Tradisi kenduri sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Namun, dalam megengan, kenduri dibarengi dengan kegiatan doa bersama yang ditujukan untuk keluarga dan nenek moyang yang sudah meninggal. Untuk waktu pelaksanaannya, biasa dilakukan pada minggu terakhir bulan Sya’ban, menjelang masuknya Ramadan.
Megengan biasanya digelar di masjid atau langgar setempat. Setiap warga yang tinggal di sekitar langgar membawa nasi beserta lauk pauknya (Jw: sego berkat) untuk di makan bersama. Dalam prosesinya, ada satu makanan khusus yang tidak boleh absen dari tradisi megengan, yaitu kue apem.
Kue yang terbuat dari tepung beras itu, menjadi menu wajib dalam upacara tersebut. Kue apem merupakan simbol peremohonan ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama setahun lalu.
Berdasarkan terminologi yang berkembang di masyarakat, apem berasal dari kata dalam bahasa Arab ‘afwan’ yang berarti maaf atau ampunan. "Dulu Apem menjadi makanan elit keraton. Ini bisa dijumpai pada Kerajaan Pajang. Kue berbahan dasar tepung beras ini menjadi kue wajib dalam penyelenggaraan Megengan,
Hal tersebut sesuai dengan tujuan megengan itu sendiri, yaitu agar manusia disucikan lahir dan batin dari segala dosa. Dengan begitu, warga bisa lebih tenang dan lapang dada dalam menjalani seluruh ibadah di bulan Ramadan.
“Secara simbolik kami siapkan 1.441 apem. Karena tahun ini 1441 Hijriah. Sekedar penanda, karena apem itu ‘afwun, saling memaafkan. Sebelum Ramadan kita saling memaafkan
Dugderan
Kirab budaya warak ngendog ini biasanya diadakan sebelum bulan puasa+
Sebagian besar warga Semarang hanya tahu Warak Ngendog sebagai mainan ukuran besar yang diarak menjelang dugderan. Padahal, nih, ada cerita seru di baliknya.Dugderan itu akulturasi antara budaya Arab+Jawa+Tionghoa untuk menyambut Ramadan.
Warak Ngendog sebenarnya pada zaman dahulu kala merupakan hewan mitologi yang sakti bagi warga Semarang. Bentuknya merupakan perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala, dan buraq di bagian badannya.
Ada Pasar Rakyat. kirab.
Dimeriahkan oleh sejumlah mercon dan kembang api (nama "dugderan" merupakan onomatope dari suara letusan). "Dug" berarti bunyi yang berasal dari bedug yang dibunyikan saat ingin shalat Maghrib. Sementara "deran" suara dari mercon
Dugderan selain sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana dakwah Islam.
Baratan
Baratan merupakan sebuah tradisi berupa karnaval yang dilaksanakan 15 hari sebelum bulan Ramadhan di Kabupaten Jepara. Baratan secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang bermakna berkah atau keselamatan. Tradisi Baratan erat kaitannya dengan sosok Ratu Kalinyamat, Bupati Jepara pertama. Oleh karena itu penyelanggaraannya dilaksanakan di Masjid Al-Makmur, Desa Kriyan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara. Prosesi Baratan dimulai dengan Sholat Maghrib berjamaah dilanjutkan dengan doa-doa kemudian Sholay Isya berjamaah. Setelah itu dilanjutkan dengan kenduri dan kemudian karnaval. Karnaval diikuti oleh berbagai kesenian seperti barongan, reog, dan barongsai. Turut ikut juga rombongan pasukan Kerajaan Kalinyamat serta Ratu Kalinyamat.
Biasanya, warga menggelar Baratan di pertengahan bulan Syaban dlm penanggalan Hijriah. Atau sekitar tiga - dua pekan menjelang #Ramadan
Waktu pelaksanaannya berbeda, tergantung pada kesepakatan warga. Namun, persamaan waktu pelaksanaannya yaitu malam.
Dandangan adalah tradisi peninggalan Sunan Kudus sejak 450 tahun lalu, yang dilakukan untuk menyambut datangnya awal Ramadhan.
Waktu pelaksanaannya berbeda, tergantung pada kesepakatan warga. Namun, persamaan waktu pelaksanaannya yaitu malam.
nishfu sya'ban. di jepara ada baratan; arak-arakan Ratu Kalinyamat.
Ribuan warga antusias datangi lapangan Desa Banyuputih, Kaliyamatan Jepara, Jawa Tengah, untuk hadiri Festival Baratan. Dalam acara ini mengangkat tokoh perjuangan pahlawan Ratu Kalinyamat. Festival ini sebetulnya menyambut malam Nifsu Syaban
biasanya didahului doa di masjid dilanjutkan arak2an dg membawa lampion(impes)
Dari Baca Yasin, Bancakan Puli Hingga Pesta
Dandangan
Menurut sejarah, nama ”dandangan” berasal dari suara beduk Masjid Menara Kudus yang berbunyi dang, dang, dang saat ditabuh untuk menandai awal bulan puasa.
Dandangan merupakan tradisi penyambutan Ramadhan yang berasal dari Kabupaten Kudus. Dandangan dipusatkan di Masjid Menara Kudus yang tak jauh dari Makam Sunan Kudus. Awalnya Dandangan adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh para Santri dengan berkumpul di serambi masjid untuk menunggu pengumuman awal puasa dari Sunan Kudus. Kini Dandangan lebih seperti sebuah pesta rakyat berupa pasar malam dan kirab budaya.
Bisanya menjelang Ramadan seperti sekarang ini, di Kota Kudus ada tradisi “Dandangan” tapi tahun ini kita semua sedang mengikuti anjuran pemerintah untuk memutus mata rantai covid19 dan #dirumahaja
Bisanya menjelang Ramadan seperti sekarang ini, di Kota Kudus ada tradisi “Dandangan” tapi tahun ini kita semua sedang mengikuti anjuran pemerintah untuk memutus mata rantai covid19 dan #dirumahaja
Jelang Ramadan Kudus Gelar Kirab 10 Ribu Apem
Jejak sejarah kota Kudus terekam dalam pergelaran Dandangan. Sekitar tahun 1549 H atau 450-an lalu, masyarakat berkumpul di depan Menara Masjid, menunggu pengumuman awal puasa Ramadhan dari Sunan Kudus
Menurut sejarah, ”dandangan” berasal dari suara beduk Masjid Menara Kudus yg berbunyi dang, dang, dang saat ditabuh untuk menandai awal bulan puasa. Tradisi ini sudah ada sejak sekitar 450 th lalu, masa Sunan Kudus (Syeikh Jakfar Shodiq) menyebarkan Islam di Kota Kudus
Kirab Budaya utk memeriahkan visualisasi Tradisi Dandangan dlm rangka Menyambut Ramadhan
Benang merahnya adalah Megengan, Dugderan, Baratan, Dandangan merupakan tradisi yang menerjemahkan hadits tentang Tarhib Ramadlan.
Barangsiapa gembira menyambut Ramadhan, Allah haramkan api neraka menyentuh badannya. (HR Muslim)
Marhaban Yaa Ramadhan.
Tarhib Ramadhan. Bergembira menyambut bulan suci ramadhan
Tarhib artinya menyambut
Ramadhan memang wajib disambut
Disambut dengan riang gembira
Ramadhan adalah tamu agung
Memuliakan tamu adalah karakter seorang muslim
0 Comments:
Posting Komentar