Hybrid Paradox: Seni di Persimpangan Tradisi dan Globalisasi

Hybrid Paradox: Seni di Persimpangan Tradisi dan Globalisasi



Mengapa Seni Selalu Berada di Persimpangan?

Di era globalisasi yang serba cepat, seni mengalami perubahan yang signifikan. Ia tidak lagi terbatas pada batas-batas geografis atau identitas tunggal, melainkan menjadi ruang negosiasi yang dinamis antara tradisi dan inovasi, lokalitas dan globalisasi, serta ekspresi personal dan kepentingan kolektif.

Inilah yang saya sebut sebagai Hybrid Paradox—konsep yang mengangkat ketegangan antara dua kutub yang tampaknya bertentangan, tetapi justru melahirkan kreativitas baru yang unik dan relevan dengan zaman.

Tentang Buku Ini

Buku Hybrid Paradox: Seni di Persimpangan Tradisi dan Globalisasi lahir dari pengamatan, pengalaman, serta penelitian saya sebagai akademisi, seniman, dan aktivis budaya. Buku ini mengeksplorasi bagaimana seni berkembang dalam lanskap digital, bagaimana media sosial membentuk identitas seniman dan komunitasnya, serta bagaimana seni berperan sebagai alat refleksi sosial dan aktivisme budaya.

Beberapa tema utama dalam buku ini meliputi:
Seni dalam Lanskap Digital – Bagaimana teknologi mengubah cara kita mencipta dan mengapresiasi seni?
Identitas Personal dan Kolektif – Di mana posisi kita dalam dinamika budaya global?
Seni sebagai Sarana Perlawanan Sosial – Bagaimana seni dapat menjadi medium untuk menyuarakan isu-isu sosial?
Pergeseran Estetika dalam Era Globalisasi – Apakah seni tradisional masih relevan?
Refleksi dan Harapan Masa Depan – Ke mana arah seni dan budaya di masa mendatang?

Untuk Siapa Buku Ini?

📌 Seniman dan kreator yang ingin memahami dinamika seni di era digital
📌 Akademisi dan peneliti budaya yang tertarik dengan konsep hybrid paradox
📌 Aktivis dan penggerak budaya yang ingin memanfaatkan seni sebagai alat perubahan
📌 Semua orang yang mencintai seni dan ingin memahami bagaimana ia beradaptasi dengan dunia modern

Mengapa Anda Harus Membaca Hybrid Paradox?

Buku ini bukan hanya sekadar analisis teoretis, tetapi juga refleksi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, saya berbagi pengalaman pribadi dalam berkarya dan mengadvokasi seni sebagai bagian dari identitas sosial serta perjuangan budaya.

Bagi saya, seni bukan sekadar estetika. Ia adalah jendela dunia, tempat kita memahami perbedaan, merayakan keberagaman, dan mencari makna di tengah perubahan zaman.

Mari menjelajahi dunia Hybrid Paradox bersama! 🚀✨

📖 Segera dapatkan bukunya dan temukan perspektif baru dalam melihat seni!

#HybridParadox #SeniBudaya #DianNafi #TradisiVsModernitas #SeniUntukPerubahan

LInk bukunya di google play book dan google book

https://play.google.com/store/books/details?id=GjZJEQAAQBAJ

http://books.google.com/books/about?id=GjZJEQAAQBAJ



Upcoming Book dari Dian Nafi dkk: Cerita-Cerita Lokal Demak

 

Upcoming Book dari Dian Nafi dkk:  Cerita-Cerita Lokal Demak

Akhir tahun kemarin, sebenarnya seleksi tulisan untuk calon antologi cerita-cerita lokal Demak ini sudah digelar. Komite Sastra Dewan Kesenian Daerah Demak bersama  Sektor Penerbitan dan Publikasi Komite Ekonomi Kreatif Demak mencari cerita-cerita dari daerah-daerah di Demak, baik asal-usul nama desa, kampung, dusun, cerita-cerita lokal, budaya-budaya dan tradisi-tradisi lokal berikut local wisdomnya. 

Karena ada banyak sekali potensi cerita-cerita lokal Demak (jumlah desanya saja ada 254 desa, belum lagi jumlah kampung dll nya), maka antologi cerita-cerita lokal Demak ini akan dibuat berseri. Seri pertamanya insya Allah segera digodhog. Berikut alternatif beberapa covernya. Kalian lebih cenderung suka cover yang mana?

Btw, buat teman-teman yang juga mau urun mengirim tulisan terkait local wisdom Demak, silakan kirim ke hasfagroup@gmail.com dengan judul email: local wisdom demak.

2- 8 halaman A4
Times new roman 11
spasi 1,5

Sertakan narasi pendek biodata penulis ya. 

Selamat menulis! Selamat berbagi dan menginspirasi!






Tentang Dian Nafi

Dian Nafi. Creative and Digital Enthusiast.  Baru saja lulus sidang tesis Master Public Policy. Lulusan Arsitektur Undip yang suka jalan-jalan, menulis fiksi dan non fiksi seputar kepesantrenan, kemuslimahan, kewirausahaan, motivasi dan pengembangan diri.  

Tulisan dimuat di beberapa media, 49 buku dan 124 antologi/omnibook diterbitkan oleh 17  penerbit Indonesia. Di antaranya: Jendela-Zikrul Hakim, Quanta-Elexmedia, Bentang, Gramedia Pustaka Utama, Hasfa, Mizan,  Bentang, Grasindo, Diandra, Divapress, Erlangga, Prenada, Visi Media, Indiva, dll.

Founder Hasfa, pegiat banyak komunitas, Litbang Fatayat NU Demak, Sekretaris KBIH Muslimat NU, Litbang CodingMum Bekraf, Kabid Organisasi GOW (Gabungan Organisasi Wanita) Demak, Ketua Litbang DKD (Dewan Kesenian Daerah) Demak, Bidang Pemberdayaan Perempuan KNPI Demak, Komite Ekonomi Kreatif Demak, Bidang Advokasi Muslimat NU Demak, Sekretaris 2 Forum Perempuan Berdaya.

Coach Gramedia Academy, Trainer Woman Will by Google, Trainer Gapura Digital by Google, Trainer Hasfa Camp

Profilnya dimuat di Harian Analisa Medan (2011) Buku Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia (KosaKataKita, 2012) Jawa Pos-Radar Semarang (2013) Alinea TV (2014) Koran Sindo (2014) Tribun Jateng (2015) Nakita (2016) TVKU (2018) Buku  Sastrawan Jateng (2019) Lingkar luar (2020) Rskw (2021)

Pemenang Favorit LMCR ROHTO 2011 dan 2013. Penulis Terpilih WS Kepenulisan PBA dan KPK 2011, Menang Lomba Menulis bersama A Fuadi, dan antologi tersebut terpilih sebagai nominasi kategori Buku dan Desain Sampul Non Fiksi Terfavorit Anugerah Pembaca Indonesia 2012, Penulis Terpilih WS Cerpen Kompas 2012, Award PSA Grasindo 2013 dan 2014, Award BulanNarasi PlotPoint 2015, Novel Gus masuk short list kategori Desain Sampul Fiksi Favorit Anugerah Pembaca Indonesia 2016, Penerima Apresiasi Literasi dari Bupati 2017, Finalis Lomba Penyusunan Bahan Bacaan Pengayaan Pelajaran Bahasa Indonesia Tingkat Sekolah Dasar Balai Bahasa Jawa Tengah 2018, 

Finalis Fellowship IBT Tempo 2018, Selected Paper Presented on International Conference at Radboud University, Nijmegen, Netherland 2019. Scholarship SGPP 2020 Awardee Post Graduate Bursary Asean Studies of Australian 2021 Scholarship FFBS UK-IndoTechHub 2022



Megengan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

Megengan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

dian nafi


Tanggal 7 Mei 2020 jam 16.00 WIB sampai selesai, ada topik tentang Megengan saat acara  Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi



Megengan tradisi masyarakat jawa pada umumnya khususnya di jawa tengah, jawa timur, dan yogyakarta dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan
Megeng berarti menahan diri. Mengenali jati diri. Terkendali di jalan Ilahi. Megengan wujud syukur menyambut bulan Ramadhan suci, dg silaturahim & memaafkan. Tersimbol dalam ritus kue ‘afwan. Lisan Jawa jd apem

Tiap menjelang Ramadan ada tradisi ‘punggahan’ atau ‘megengan’. Tiap rumah bawa makanan ke masjid/musholla buat didoain bareng. 

Megengan ala covid-19. Didongani sendiri, diantar ke tetangga satu per satu. biasane cukup dibawa ke musala...

Kue apem merupakan simbol permohonan ampun untuk segala dosa & kesalahan yg pernah diperbuat. Kue Apem biasa dihadirkan dlm ritual 'Megengan'. Megengan dilaksanakan dlm menyambut datangnya bulan suci Ramadhan & sbg bentuk syukur atas nikmat yg diberikan oleh Allah SWT.


Megengan berasal dari kata dalam bahasa Jawa ‘megeng’ yang artinya menahan. Dalam konteks ini, megengan memiliki filosofi menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, amarah dan hawa nafsu lainnya yang tidak diperbolehkan selagi menjalankan ibadah puasa.

Masih belum diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi ini lahir dan mulai berkembang di masyarakat. Menurut Prof. Dr. Nursyam, M.Si, akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh para Wali Sanga, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga.

Wali sanga memang dikenal ramah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Mereka banyak menggunakan cara-cara simbolik yang dekat dengan budaya masyarakat saat itu. Tradisi megengan sendiri disinyalir merupakan akulturasi antara budaya yang kental dengan masyarakat Jawa dan ajaran Islam.

Alasan wali sanga menggunakan akulturasi budaya dalam proses dakwahnya adalah, karena di masa-masa awal penyebaran agama Islam di Nusantara, masyarakat masih sangat kental dengan beragam tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan mereka.

Jika Islam diajarkan secara frontal, dikhawatirkan masyarakat akan menolak kehadirannya. Di situlah bukti kreativitas wali sanga. Mereka sangat piawai membungkus dakwahnya dengan berbagai hal yang dekat dengan masyarakat.

Begitu pula dengan megengan yang dibungkus melalui tradisi upacara atau slametan yang sudah umum berkembang di masyarakat kala itu. Bila ditilik lebih jauh simbol-simbol yang ada dalam tradisi tersebut, makna sebenarnya adalah Melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam.

Dugderan: Bincang Budaya RRI bareng Dian Nafi

Dugderan: Bincang Budaya RRI bareng Dian Nafi
dian nafi

Tanggal 5 Mei 2020 jam 16.00 WIB sampai selesai, ada topik tentang Dugderan saat acara  Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

Dugderan  adalah tradisi yang diselenggarakan di banyak kota di Jawa, menjelang Ramadhan datang. 


Dugderan juga merupakan festival tahunan dari Kota Semarang yang diadakan seminggu sebelum bulan suci Ramadhan. Dugderan sudah dilaksanakan sejak tahun 1882 saat Semarang berada dibawah kepemimpinan R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Sejak masa kolonial, perayaan dugderan dipusatkan di Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang (Masjid Kauman) yang berada di kawasan Kota Lama Semarang dekat Pasar Johar.

Biasanya ada acara kirab warak ngendog


warak ngendog itu merupakan hewan mitologi yang sakti
Sebagian besar warga Semarang hanya tahu Warak Ngendog sebagai mainan ukuran besar yang diarak menjelang dugderan. Padahal, nih, ada cerita seru di baliknya.Dugderan itu akulturasi antara budaya Arab+Jawa+Tionghoa untuk menyambut Ramadan.

Warak Ngendog sebenarnya pada zaman dahulu kala merupakan hewan mitologi yang sakti bagi warga Semarang. Bentuknya merupakan perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala, dan buraq di bagian badannya.

Warak Ngendog ini berasal dari paduan bahasa Arab Wara'i (Suci) dan Jawa Ngendog (Bertelur). Bentuknya merupakan perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala dan buraq di bagian badannya

Dandangan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

Dandangan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

dian nafi



Tanggal 3 Mei 2020 jam 16.00 WIB sampai selesai, ada topik tentang Dandangan saat acara  Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi




Dandangan merupakan tradisi yang menerjemahkan hadits tentang Tarhib Ramadlan. 

Barangsiapa gembira menyambut Ramadhan, Allah haramkan api neraka menyentuh badannya. (HR Muslim)

Marhaban Yaa Ramadhan.
Tarhib Ramadhan. Bergembira menyambut bulan suci ramadhan

Tarhib artinya menyambut 
Ramadhan memang wajib disambut 
Disambut dengan riang gembira 
Ramadhan adalah tamu agung
Memuliakan tamu adalah karakter seorang muslim 



Dandangan adalah tradisi peninggalan Sunan Kudus sejak 450 tahun lalu, yang dilakukan untuk menyambut datangnya awal Ramadhan. 


Menurut sejarah, nama ”dandangan” berasal dari suara beduk Masjid Menara Kudus yang berbunyi dang, dang, dang saat ditabuh untuk menandai awal bulan puasa.

Dandangan merupakan tradisi penyambutan Ramadhan yang berasal dari Kabupaten Kudus. Dandangan dipusatkan di Masjid Menara Kudus yang tak jauh dari Makam Sunan Kudus. Awalnya Dandangan adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh para Santri dengan berkumpul di serambi masjid untuk menunggu pengumuman awal puasa dari Sunan Kudus. Kini Dandangan lebih seperti sebuah pesta rakyat berupa pasar malam dan kirab budaya.


 Biasanya menjelang Ramadan seperti sekarang ini, di Kota Kudus ada tradisi “Dandangan” tapi tahun ini kita semua sedang mengikuti anjuran pemerintah untuk memutus mata rantai covid19 dan #dirumahaja


Menu