Megengan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

Megengan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

dian nafi


Tanggal 7 Mei 2020 jam 16.00 WIB sampai selesai, ada topik tentang Megengan saat acara  Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi



Megengan tradisi masyarakat jawa pada umumnya khususnya di jawa tengah, jawa timur, dan yogyakarta dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan
Megeng berarti menahan diri. Mengenali jati diri. Terkendali di jalan Ilahi. Megengan wujud syukur menyambut bulan Ramadhan suci, dg silaturahim & memaafkan. Tersimbol dalam ritus kue ‘afwan. Lisan Jawa jd apem

Tiap menjelang Ramadan ada tradisi ‘punggahan’ atau ‘megengan’. Tiap rumah bawa makanan ke masjid/musholla buat didoain bareng. 

Megengan ala covid-19. Didongani sendiri, diantar ke tetangga satu per satu. biasane cukup dibawa ke musala...

Kue apem merupakan simbol permohonan ampun untuk segala dosa & kesalahan yg pernah diperbuat. Kue Apem biasa dihadirkan dlm ritual 'Megengan'. Megengan dilaksanakan dlm menyambut datangnya bulan suci Ramadhan & sbg bentuk syukur atas nikmat yg diberikan oleh Allah SWT.


Megengan berasal dari kata dalam bahasa Jawa ‘megeng’ yang artinya menahan. Dalam konteks ini, megengan memiliki filosofi menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, amarah dan hawa nafsu lainnya yang tidak diperbolehkan selagi menjalankan ibadah puasa.

Masih belum diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi ini lahir dan mulai berkembang di masyarakat. Menurut Prof. Dr. Nursyam, M.Si, akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh para Wali Sanga, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga.

Wali sanga memang dikenal ramah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Mereka banyak menggunakan cara-cara simbolik yang dekat dengan budaya masyarakat saat itu. Tradisi megengan sendiri disinyalir merupakan akulturasi antara budaya yang kental dengan masyarakat Jawa dan ajaran Islam.

Alasan wali sanga menggunakan akulturasi budaya dalam proses dakwahnya adalah, karena di masa-masa awal penyebaran agama Islam di Nusantara, masyarakat masih sangat kental dengan beragam tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan mereka.

Jika Islam diajarkan secara frontal, dikhawatirkan masyarakat akan menolak kehadirannya. Di situlah bukti kreativitas wali sanga. Mereka sangat piawai membungkus dakwahnya dengan berbagai hal yang dekat dengan masyarakat.

Begitu pula dengan megengan yang dibungkus melalui tradisi upacara atau slametan yang sudah umum berkembang di masyarakat kala itu. Bila ditilik lebih jauh simbol-simbol yang ada dalam tradisi tersebut, makna sebenarnya adalah Melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam.

Dugderan: Bincang Budaya RRI bareng Dian Nafi

Dugderan: Bincang Budaya RRI bareng Dian Nafi
dian nafi

Tanggal 5 Mei 2020 jam 16.00 WIB sampai selesai, ada topik tentang Dugderan saat acara  Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

Dugderan  adalah tradisi yang diselenggarakan di banyak kota di Jawa, menjelang Ramadhan datang. 


Dugderan juga merupakan festival tahunan dari Kota Semarang yang diadakan seminggu sebelum bulan suci Ramadhan. Dugderan sudah dilaksanakan sejak tahun 1882 saat Semarang berada dibawah kepemimpinan R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. Sejak masa kolonial, perayaan dugderan dipusatkan di Masjid Agung Semarang atau Masjid Besar Semarang (Masjid Kauman) yang berada di kawasan Kota Lama Semarang dekat Pasar Johar.

Biasanya ada acara kirab warak ngendog


warak ngendog itu merupakan hewan mitologi yang sakti
Sebagian besar warga Semarang hanya tahu Warak Ngendog sebagai mainan ukuran besar yang diarak menjelang dugderan. Padahal, nih, ada cerita seru di baliknya.Dugderan itu akulturasi antara budaya Arab+Jawa+Tionghoa untuk menyambut Ramadan.

Warak Ngendog sebenarnya pada zaman dahulu kala merupakan hewan mitologi yang sakti bagi warga Semarang. Bentuknya merupakan perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala, dan buraq di bagian badannya.

Warak Ngendog ini berasal dari paduan bahasa Arab Wara'i (Suci) dan Jawa Ngendog (Bertelur). Bentuknya merupakan perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala dan buraq di bagian badannya

Dandangan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

Dandangan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

dian nafi



Tanggal 3 Mei 2020 jam 16.00 WIB sampai selesai, ada topik tentang Dandangan saat acara  Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi




Dandangan merupakan tradisi yang menerjemahkan hadits tentang Tarhib Ramadlan. 

Barangsiapa gembira menyambut Ramadhan, Allah haramkan api neraka menyentuh badannya. (HR Muslim)

Marhaban Yaa Ramadhan.
Tarhib Ramadhan. Bergembira menyambut bulan suci ramadhan

Tarhib artinya menyambut 
Ramadhan memang wajib disambut 
Disambut dengan riang gembira 
Ramadhan adalah tamu agung
Memuliakan tamu adalah karakter seorang muslim 



Dandangan adalah tradisi peninggalan Sunan Kudus sejak 450 tahun lalu, yang dilakukan untuk menyambut datangnya awal Ramadhan. 


Menurut sejarah, nama ”dandangan” berasal dari suara beduk Masjid Menara Kudus yang berbunyi dang, dang, dang saat ditabuh untuk menandai awal bulan puasa.

Dandangan merupakan tradisi penyambutan Ramadhan yang berasal dari Kabupaten Kudus. Dandangan dipusatkan di Masjid Menara Kudus yang tak jauh dari Makam Sunan Kudus. Awalnya Dandangan adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh para Santri dengan berkumpul di serambi masjid untuk menunggu pengumuman awal puasa dari Sunan Kudus. Kini Dandangan lebih seperti sebuah pesta rakyat berupa pasar malam dan kirab budaya.


 Biasanya menjelang Ramadan seperti sekarang ini, di Kota Kudus ada tradisi “Dandangan” tapi tahun ini kita semua sedang mengikuti anjuran pemerintah untuk memutus mata rantai covid19 dan #dirumahaja


Suasana Ramadlan Dan Persiapan Lebaran

Suasana Ramadan dan Persiapan Lebaran


Hal-hal yang dirindukan dari Suasana Ramadlan Dan Persiapan Lebaran ya banyak banget.


Aku ingat dulu saat bulik bulikku masih padha muda dan belum berkeluarga, kami suka membuat kue kue sendiri untuk persiapan lebaran. Di ruang tengah rumah simbah yang luas, kami duduk melingkar atau kadang dengan posisi sesuka hati, tapi sambil membuat dan mengulen adonan  kami berbincang bincang akrab. Tentang apa saja. Ngalor ngidul lah.
Setelah adonannya jadi kami mencetaknya dengan cetakan atau ya menggunakan tangan untuk memlintir adonan jadi stick panjang kumis kucing, atau diisi abon lalu diditekuk alias mbungkus dan dicuili pinggirnya jadi pastel dan lain lain. Setelah itu adonan yang sudah dicetak dimasukkan oven. Biasanya menjelang maghrib, kue kue sudah jadi. Aku boleh ikut mencicipi sedikit setelah buka puasa. Yang lainnya dimasukkan ke dalam toples. Besoknya kami membuat lagi kue yang lain. Begitu terus sepanjang hari sampai sebelum tanggal 17 ramadlan. Karena setelah nuzulul quran semua bersiap untuk maleman alias sholat malam di sepuluh hari terakhir ramadlan, berdiam di masjid beberapa waktu lalu sholat lailatul qodar, njungkung nyuwun marang Gusti Allah.


Kok bikin kuenya banyak banget sampai bertoples toples? Karena tamunya simbah bnayak banget. Termasuk tamu tamu bulik bulikku dan keluarga kami di rumah besar otu.
Sejak bulik bulik berkeluarga, mereka membuat kue kue itu di rumah mereka masing masing, sedangkan ibu lebih memilih beli kue langsung jadi dalam toples di toko. Jadi kesenangan yang dulu kudapat saat persiapan lebaran itu tidak lagi bisa kurasakan. He he he



Kalau suasana ramadan yang kurindukan adalah sholat berjamaah di masjid, sholat garawih dan witir, yang sekarang tidak kulakukan karena lebih memilih sholat dalam rumah sebab ada pandemic corona.

Juga sholat lailatul qodar di malam tanggal ganjil ramadlan yang kemarin kemarin masih bisa dikerjakan   bersama sama di masjid. Bahkan sampai meluber ke jalan jalan dan alun alun demak. Tahun ini maleman terpaksa libur.

Rasa yang dulu khusyu sepanjang ramadhan juga kurindukan sekali.  Entah bagaimana kali ini kok serasa hilang. Hiks. Sedih banget.

Semestinya meskipun ada corona, dan melakukan semua ibadah di rumah  bisa tetap khusyu dan khudur. Tapi mungkin memang spiritualku baru low bat, ya gimana ya, musti ikhlas lillah. Ala kulli hal alhamdulillah. Masih diberi umur sehingga sempat mencicipi ramadhan, masih diberi kesehatan dan kekuatan sehingga bisa berpuasa, tadarus, tarawih, witir.  Semoga dengan rasa syukur, nikmat akan ditambah
 Aamiin aamiin ya robbal alamiin
Suasana Ramadlan yang juga bikin ribet tapi tidak bisa diabaikan adalah keriuhan mencari baju baju lebaran untuk anak anak, suami, saudara, keponakan  keponakan, orang tua dan mertua. Beuh itu bukan cuma menguras saku tapi menguras energi. Kadang kadang kita suka bajunya tapi nggak suka harganya. Ada yang harganya sesuai kantong tapi model atau bahannya kok gitu aja aja ya. Waduh ribet deh. Bisa bolak balik pasar dan supermarket dalam beberapa hari demi menemukan semua buruan belanjaan baju lebaran ini. Kadang kadang mengganggu kekhusyuan ibadah romadhan juga lho ini. Makanya suka mengambil celah waktu pas datang bulan alias haidl saat mau cari baju lebaran ini. Tapi kadang makin mendekati lebaran pilihan koleksinya mulai habis dan harganya semakin tinggi. Dilema banget tho. Untunglah di masa pandemi corona kita gak bisa keluar rumah, jadi gak ada lagi aktifitas ribet cari baju lebaran.  Hu hu hu tapi gak ada sholat idul fitri sedih juga ya. Hiks hiks


Kalau kalian, apa yang kalian rindukan dari suasana ramadlan dan persiapan lebaran?

Menu