Menatap tajam ke
arahku, Hendrik menyelusupkan rasa dan getar yang tak biasa. Aku ketakutan. Kami
sedang berteduh di bawah jembatan tol. Hujan mulai rintik dan kami memutuskan
untuk berteduh sembari beristirahat setelah seharian mengamen dari kampung ke
kampung.
Hendrik memetik
gitarnya lalu dengan lembut melantunkan lagu Kitaro. Children without father.
Titik air mataku tak tertahan, tak urung aku luruh dan hanyut bersama hujan dan
suara emas Hendrik. Luruh dan jatuh ke pelukannya. Pelukan Kitaro-ku.
Kami
telah sama-sama menggelandang sejak puluhan tahun lalu, saat kami sama-sama
kehilangan ayah kami yang terkena bencana alam di masa negeri berselimut kalut
kekacauan korupsi dan berbagai macam mafia.
Kuedarkan
pandangan dan berakhir saat menatap beton jembatan tol di atas kami. Kami
sekeras baja, Kitaro-ku –Hendrik- tak pernah melepaskan aku dari ‘pelukan’nya.
Dia yang selalu ada di dekatku, memahami luka-luka dan rintihanku. Dia
menguatkan aku dan yang paling menakjubkan adalah dia selalu menjagaku. Tak
terbersit dalam pikirannya sekalipun untuk menodaiku, meski banyak sekali
gelandangan, pemulung, pengamen dan anak jalanan di sekitar kami melakukannya.
Hendrik serupa malaikatku. Bahkan menyentuhku saja tidak pernah ia lakukan.
“Kita pulang
yuk”, ajak Hendrik sambil menggamit lenganku. Kami berjalan bergandengan tangan
menyusuri sisa hujan. Aku ketakutan. Getar suaranya tak biasa, tubuhnya hangat di tengah hujan yang dingin. Aku ketakutan.
Hendrik mungkin sekali sakit. Kehilangan dia adalah ketakutanku saat ini.
“Aku lapar……..”,
tak bisa kusembunyikan nyanyian perutku.Dan sebenarnya aku mengkhawatirkan
Hendrik. Dia harus makan dan minum obat.
“Kita makan sepiring
berdua?”, tanyanya. Uang di tangan memang tak seberapa. Aku mengangguk saja,
dengan rencana akan makan satu dua suap saja dan meninggalkan sisanya untuk
dihabiskan Hendrik. Dia lebih membutuhkan daripada aku.
“Ikhlaskan
suamimu”,suara itu membangunkan
lamunanku. Suara Irish, manajer kami yang selama seminggu ini menemaniku dan
Hendrik melalui hari-hari berurai air mata di ICU rumahsakit.
Berhasil melalui
sepuluh tahun perjuangan kami meniti kesuksesan setelah masa-masa di bawah
jembatan tol dan melawan penyakit Hendrik, pada akhirnya perpisahan kami tak
terelakkan.
“Aku
mencintaimu, Hendrik. Dulu, sekarang, selamanya”, bisikku di telinganya yang
kini beku dan dingin. Tangan kananku memeluk Kitaro-ku yang terbujur kaku.
Tangan kiriku meraba perutku yang mulai membuncit, a child without father mengalun sepi.
Aku memandangi kaos
kaki basah yang kuseret dengan hati remuk. Hiks. Adakah ini pertanda ada yang
kurang bersih dalam uangku yang kugunakan untuk berhaji.
Airmataku juga meleleh,
tak terhindarkan. Aku berjalan antara shofa marwa dengan perasaan hancur. Adakah aku ini suci dzohir
batin ataukah seperti yang kusangkakan pada diriku sendiri, aku setengah bersih
setengah kotor. Mungkin seperberapa bersih seperberapa kotor.
Salahku juga tadi tidak
membawa kaos kaki cadangan. Sehingga kaos kaki yang kupakai terpaksa basah
karena tak kulepas selama aku masih dalam kondisi ihram melakukan umroh ini.
Dan kenapa aku ragu kaos kaki ini masih suci atau tidak, karena aku pergi ke
hammam / kamar mandi untuk buang air kecil. Hanya di dalam kamar mandi
tertutup, aku bisa membuka kaos kaki sebelum melakukan hajat itu. Tetapi selama
melewati ruang hammam yang terbuka, aku tidak mungkin melepaskannya. Jadi siapa
tahu di lantai ruang hammam yang terbuka itu suci semua, meski petugas
kebersihan selalu berusaha membersihkannya. Siapa yang tahu? Siapa tahu tetap
ada yang tidak suci sepanjang jalan itu, dan ada yang nyangkut atau meresap di
kaos kaki basahku?
Astaghfirullah.
Membayangkannya saja, aku meringis, pilu. Bagaimana kalau tahu kenyataannya.
Dan hatiku yang sensitive, yang selalu menghubungkan suatu peristiwa dan
keadaan dengan tingkah lakuku sendiri, berderak. Hatiku berdecit. Merintih.
Astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah, atas semua dosa,kesalahan, kekhilafan,
keberanian melanggar laranganMu. Ampuni aku ya Allah,ampuni aku.
Aku berjalan sepanjang
shofa marwa dengan kaos kaki basah yang entah kesuciannya dengan berlinang air
mata. Sa’i yang tak mungkin kubatalkan begitu saja karena ini sa’i dalam umroh
wajib yang sedang kulakukan. Tinggal sedikit lagi perjuangan, kemudian tahalul
bercukur dan aku baru bebas. Selesai. Paripurna. Dan aku baru bisa melepas kaos
kaki itu.
Yang terus berkecamuk
dalam kepalaku adalah kemungkinan –kemungkinan tercampurnya uang hajiku dengan
penghasilan yang kurang halal sepenuhnya. Hiks.
Dan kaos kaki basah
yang entah itu membasahi dan mungkinkah mengotori, astaghfirullahaladziim
semoga tidak, rute sepanjang shofa marwa. Apakah itu artinya aku mengotori
rumah Allah ini, masjidil haram. Dan membuat beberapa orang yang berjalan di sepanjang bekas jejak kaos kakiku
ikut terkotori,astaghfirullah. Betapa dosa membawa dosa dan menambah dosa di
atas dosa. Kotor menularkan kotor, menambah salah di atas salah.
Astaghfirullaaaaah……………hatiku remuk redam.
Apakah ada uang yayasan
yang dititipkan padaku sebagai bendahara ada yang terlewat pembukuannya,
meskipun sedikit? Dan karenanya,uangku sedikit tercampuri? Aku mulai
menduga-duga.
Sebenarnya menjadi
bendahara yayasan untuk periode lama, karena belum pernah diganti selama empat
kali periode, amat berat bagiku. Ada banyak pengeluaran di luar pengeluaran
resmi, seperti bensin,waktu dan tenaga yang kugunakan untuk mengambil uang sewa
kios – kios milik yayasan setiap bulannya. Sebelumnya tak terbersit tentang hal
ini, tetapi hembusan dari ibuku membuatku mengindahkannya. Lalu mulai
memasukkan pengeluaran ini sejak entah kapan. Hanya dua ribu rupiah sih per
bulan. Tetapi dengan akumulasi sekian lama, beberapa tahun, jumlahnya mungkin
jadi tidak sedikit lagi. Apakah itu yang mengotoriku? Mengotori uangku?
Termasuk yang kugunakan untuk membayar ongkos haji?
Kepalaku
menggeleng-geleng sendiri, menyadari kemungkinan datangnya kotor itu. Entahlah.
Ataukah karena
kadang-kadang aku tidak sepenuhnya merampungkan tugas desain dari klien dengan
optimal? Kadang karena diburu deadline atau mengerjakan sesuatu sambil momong
anak-anak, aku mengerjakannya asal saja? Apakah yang seperti itu termasuk
mengotori ?entahlah.
Aku terus meraba-raba.
Tapi sedih, itu yang jelas kurasakan.
Menangis meratap di
ujung bukit marwah di akhir perjalanan sa’iku. Bersujud di batu – batuan di
sana sambil merintih. Alangkah pilu dan pahitnya rasa berdosa.
Aku pulang ke maktabku
di Hafair dengan masih berlinang air mata. Sembab dan masih dengan hati yang
meleleh.
Atau…..ah,aku ingat.
Aku ingat kejadian beberapa hari lalu sehubungan dengan kaos kaki. Apakah itu
penyebab semua kekacauan dan kegelisahanku ini?
Entahlah
**
“Wah, nduk. Kaos kakiku bolong”
Mbah Karmi, perempuan
tua yang satu kamar denganku di maktab, menunjukkan jempolnya yang keluar
nongol dari dalam kaos kakinya.
Aku mengintip sedikit isi
tas cangklong biruku yang selalu kubawa ke mana mana selama haji ini.
Ada. Aku masih membawa
kaos kaki cadangan. Tetapi ah, aku segan dan ogah meminjamkan kaos kakiku untuk
mbah Karmi. Kenapa ya? Kenapa ogah? Mungkin sifat pelitku yang mendarah daging
selama tinggal di Indonesia tetap belum mau pergi meski sekarang sedang berhaji
di haromain.
“Hmm..gimana ya mbah?”
“Ya…aku tidak bisa
thawaf dengan kaos kaki berlubang”
Mbah Karmi
menepi,menjauhi ka’bah.
Dan aku?
Aku tak juga punya
kesadaran untuk meminjamkan kaos kaki cadanganku kepadanya.
Pelit dan juga
sifat-sifat lain yang negative ternyata memang susah sembuhnya.padahal
pembekalan waktu sebelum haji jelas sekali dikatakan bahwa shodaqoh kita selama
perjalanan haji akan dilipatgandakan. Bahkan sampai puluhan ribu kali lipat.
Tapi ya itu, susah saja untuk tidak pelit.
Jadi kebiasaan kita
selama hidup akhirnya menentukan akhir dari kehidupan kita, ya seperti itu
mungkin kejadiannya. Kita sadar kalau perbuatan ini baik, sikap ini buruk,
tetapi bawah sadar kita yang lebih bicara.
**
“Jadi tidak kau
pinjamkan kaos kakimu untuk mbah Karmi?”
“Tidak”
“Menyesal?”
“Banget. Apalagi setelah peristiwa kaos kaki basah itu.”
“Kamu
menyangka kaos kaki basah itu karena karma tidak meminjamkan kaos kakimu?”
“Iya.
Mungkin. Mungkinkah?”
“aku
tak tahu”
Malaikat
itu terduduk. Memegang sepasang kaos kaki.
“Kamu mungkin lupa kisah
itu. Kisah seorang pelacur memberi minum seekor anjing menggunakan sepatunya”
“Aku ingat. Seorang
sahabatku mualaf bahkan terus menerus mendengungkan cerita itu padaku. Cerita yang
sangat menyentuh hatinya. Menurutnya itu adalah metafora paling hebat.
Bayangkan,katanya. Gambarannya adalah seorang pelacur, seseorang yang dianggap
hina dina. Kehausan, kondisi yang menyedihkan. Memberi minum pada seekor
anjing, binatang yang dianggap najis. Pakai sepatu lagi meminumkannya, sesuatu
yang dipakai di kaki, di injak-injak. Sudah total itu super jelek-jelek, tetapi
dengan semua itu, ia sang pelacur masuk surga. Subhanallah….. sahabat saya yang
mualaf terus- terusan bertasbih dan kagum. Mungkin kisah itu juga yang
menariknya hingga ia masuk Islam. Menurutnya metafora air sebagai yang
diberikan pelacur kepada anjing artinya adalah kehidupan”
“Kamu tahu kisah itu”
“Dan ikut sekali lagi
terkagum-kagum karena sahabat saya yang mualaf membahasnya sedemikian rupa”
“Apa simpulannya?”
“kedermawanan pelacur
itu menjadi sebab ia dimasukkan ke surga”
“kamu tahu?”
“Iya.”
“Lalu kenapa tidak memilih menjadi
dermawan saja?”
“Iya.kenapa
tidak? Lupa.”
“halah! Alasan!”
“Iya,
saya pelit. Saya mengaku”
“Hanya
untuk kaos kaki”
“Iya”
“Hanya
untuk dipinjamkan. Bukan untuk diberikan.”
“Iya”
“Nhah!”
Aku terduduk. Termangu. Menatap sepasang
kaos kaki yang dipegang malaikat itu. Penyesalanku semakin dalam. Melebihi
penyesalan saat aku harus menyeret kaos kakiku sepanjang shofa marwa kala itu.
Tak ada lagi kesempatan kini kembali
untuk merubah semuanya. Takkan ada kesempatan lagi. Aku bahkan tak mampu
menangis lagi, meratap lagi. Ini terminal sebelum terminal akhir. Bagaimana
nasibku?
“Aku tidak jadi masuk surga?
Demikiankah?”
Terlalu lancang pertanyaanku. Tetapi aku
penasaran.
“kamu masih ingin masuk surga?”
“tentu saja”
“Kenapa?”
“karena Dia ada di surga kan?”
“Apa Dia tidak ada di neraka? Katamu,
Dia ada di mana – mana”
Aku terdiam. Siapalah aku? Aku bahkan
tidak mengenal Dia dengan baik,mungkin malaikat ini benar.
“Dia ingin kamu menemuiNya”
“What?!! Beneran? Di neraka ya…?”
Kata terakhirku melemah dengan nada yang
sangat sangat putus asa.
“Di mana kamu ingin ketemu?”
“Ya, di surga lah”
“Ya sudah deh.”
“Oh ya?”
Aku hampir berteriak kegirangan, namun
urung karena teringat sesuatu……
“Kaos kaki itu?”
Sudut mataku melirik sepasang kaos kaki
yang dipegangnya.
“Hmmm… ibu mertuamu, ingat?”
“Ya.kenapa dengan ibu mertuaku?”
“Dia pernah membuang kaos kakimu yang
tergeletak sembarangan di rumahnya”
“Oh…? Aku tak tahu itu”
“Memang kamu tak tahu. Ketika ia haji ke
Mekkah, penyesalannya karena pernah membuang kaos kakimu tanpa sepengetahuanmu
menjadi jadi. Dia kemudian membeli sepuluh lusin kaus kaki di sana dan dia
bagikan. Dia sedekahkan atas namamu”
“Oh….Subhanallah….Subhanallah..”
“Di mana ibu mertuaku?”
Tiba-tiba aku kangen beliau. Kadang rasa
benci dan cinta bersatu. Memang demikian menantu dan mertua ditakdirkan
berhubungan, cara yang aneh.
“sudah di surga, menantikanmu juga.
Pergilah ke sana dan berterima kasihlah atas shodaqoh kaos kaki yang dilakukannya
untukmu.”
Senyumku mengembang. Sesaat kemudian
sempat melirik sepasang kaos kaki yang dibawa malaikat, sebelum kakiku
melangkah melewati pintu masuk ke surga.
“Ini kaos kakiku”
Sang malaikat menyeringai mengolok –olok
aku. Oh…..
Biodata
Penulis.
Dian Nafi. Pecinta purnama, penikmat hujan. Setia
dalam pencarian, penjelajahan. Pimred Majalah Digital De Magz. Pemenang Favorit
Lomba Cerpen ROHTO 2011. Menang Lomba Menulis Bareng Ahmad Fuadi-penulis Negeri
Lima Menara. Dan berbagai lomba menulis lainnya. Penulis Novel Mayasmara dan 8
buku solo-duet serta 47 Antologi lainnya. Di antaranya: Twinlight
(KotaKata) Titik Balik (Leutika), LL Serendipity (IndiePublishing) Be Strong
Indonesia (#writers), Para Guru Kehidupan (Gerai Buku) Bicaralah Perempuan (Leu
Prio) For The Love of Mom (Etera Imania)Karyawan Gokil (Rumah Ide),Dear Love
(Hasfa) Balita Hebat (Jendela-Zikrul Hakim), Man Jadda Wada Series- Berjalan
Menembus Batas (Bentang), Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama) 101
Ide Bisnis Online (GPU), Gado-gado Poligami (Elex Media) Twit@ummihasfa.
Aku tidak mau mengakuinya tapi tampak jelas jika pusat duniaku sesaat ,
entah berapa lama, berpindah pada seseorang
yang agak gila ini. Dia mengaku sebagai seorang pekerja kreatif. Okelah, mari
kita menyebutnya begitu.
“Ummi jatuh cinta” empat tahun
usianya tapi cukup cerdik untuk memahami apa yang terjadi dan cukup berani
untuk menyampaikan kejujuran.
“Kata siapa?” seorang pekerja kreatif yang agak gila di depanku bertanya
dengan kumisnya yang tersenyum penuh kemenangan. Dia menyentuh rambut perempuan kecil itu dengan telapak
tangannya yang putih.
“Rambut yang bagus” pujian untuk seorang balita yang berada di pihaknya,
padahal dia anakku.
Dia membuka telapak tangannya,
mengajak anak perempuanku give him five,
give him ten. Dua telapak tangan yang bagus dengan garis –garis tapak
tangan yang jelas M nya. Lurus, rapi.
“Bagaimana bisa?” meloncat begitu saja pertanyaanku.
“Apanya?” pekerja kreatif agak gila itu balik bertanya.
“Garis tapak tangan kamu bagus. Kenapa bertemu aku? Garis tapak tanganku
tak bagus, karenanya aku boleh melakukan kegilaan.”
Aku menyimpan pedihku karena dia mungkin tidak segila yang aku kira tapi
aku mengasumsikannya demikian. Maaf. Bahkan dia lebih muda dari fotonya. Aku
menyukai gayanya berpakaian. Muda banget untuk seumuran dia yang sepuluh tahun
lebih tua dariku, padahal aku sendiri sudah 34.
“Aku sudah memikirkannya. Kita akan menulis trilogi untuk cerita kita
yang kemarin” seperti biasa pekerja kreatif setengah gila itu mengalihkan
pembicaraan.
Lalu kami tenggelam dalam genangan ide dan banjir lahar kata-kata dan
sejenak melupakan fakta bahwa aku semakin jauh terlibat dengan suami orang.
“Apa ada yang salah dengan selingkuh tulisan?” tanyanya, tanyaku juga.
Selingkuh tetap saja selingkuh. Dan itu tidak sama dengan setia. Tak lagi
mempunyai pemahaman atas selingkuh dan setia membuat kami menikmati sesuatu entah apa. Dan
ada rasa bersalah selalu singgah sesudahnya. Tidakkah cukup membuktikan bahwa
keterlibatan dan ketenggalaman ini adalah suatu kesalahan yang biasa disebut
sebagai dosa.
“Tolong kembali memutar dan drop in
lagi ya” tergesa aku menelpon pekerja kreatif setengah gila itu. Dan kukira dia
menyambutnya dengan gembira, tentu saja dia senang dengan caraku menahannya
pergi. Seperti aku juga seringkali senang dengan caranya selalu kembali dan
membuatku tak bisa berpaling.
“Ada yang belum usai?” senyum dengan kumisnya yang menantang benar-benar
hampir meruntuhkan duniaku. Dia turun dari mobil yang mengantarnya berputar
kembali untuk menemuiku untuk yang kedua kalinya di pertemuan pertama kami, di
hari yang satu-satunya ini.
Kami kembali berjalan beriringan, kali ini hanya berdua. Karena aku sudah
membawa pulang ke rumah anak perempuan kecilku yang tadi menemani kami berdua. Putri
cantikku yang selalu merindukan ayahnya di surga dan selalu senang jika ada
pria dewasa di dekatnya, dia sudah banyak membantu tadi. Memecah kekakuan
antara kami yang sebelumnya hanya bertemu di maya. Saatnya berdua saja, seperti
yang selalu kami tuliskan bersama dalam karya-karya kami.
Dia terus bicara tentang film, tulisan, konser, tour, buku dan apa saja. Dan aku,
perempuan kesepian yang rapuh, sudah cukup nyaman hanya dengan berjalan
bersisian dengannya. Kesatuan jiwa seindahnya dipadu dalam ikatan yang sah.
Namun meski dia seseorang yang sangat
nyaman untuk dijadikan belahan jiwa , figur yang bisa dijadikan ayah bagi
anak-anak siapa saja, tetapi mungkin bukan calon yang ideal menurut nilai-nilai dalam keluarga besarku.. Kami
berbeda di banyak hal, tetapi sebenarnya mirip di banyak hal lainnya. Tapi ada
yang bilang jika dua orang berbeda gender saling tertarik dan kemudian bertemu di masjid kuno dengan tiang dari
Majapahit ini, akan menikah pada suatu saatnya nanti. Kalian pernah dengar
mitos ini?
**
“Kenapa?” dia bertanya heran melihatku mengambil langkah mundur lalu
mengambil tempat disebelah kirinya berjalan setelah sebelumnya berada di
sebelah kanannya.
“Ooooo…” ada seorang gila beneran dengan pakaian setengah telanjang
berjalan dari arah berlawanan.
“Hehehe..orang gila takut orang gila” aku yang mengaku gila juga
menyembunyikan malu di wajahku yang memerah ketika sesaat tadi berada di
belakang punggung pekerja kreatif setengah gila yang aku gilai. Nyamannya
punggung yang bukan milikku, jadi lupakan untuk bersandar di sana apalagi memeluk pinggangnya.
“Oh No!” sekali lagi aku
terkejut. Kali ini hendak melarikan diri Karena kami berpapasan dengan serombongan
orang yang hendak pergi ke makam untuk kirim doa bagi sesepuh yang dihauli hari
ini. Tapi aku mengurungkan niatku. Pekerja kreatif setengah gila ini telah
meluangkan waktu dan energinya untuk terbang 45 menit dari kota yang sangat
jauh, melalui rangkaian kerja dua hari dua malam yang melelahkan, balik lagi dari kota sebelah
selatan kotaku setelah menempuh dua jam pulang-pergi kembali ke utara untuk
bertemu aku, dan aku tidak cukup memberinya penghargaan? Tuan rumah macam apa
aku ini? Kekasih macam apa aku ini yang meninggalkan kekasihnya begitu saja
karena rasa segan yang terinternalisasi dalam diriku - bagian dari segerombolan
manusia yang disebut sebagai keluarga, yang menjunjung tinggi sesuatu yang
disebut dengan kehormatan?
Sejurus kemudian tak terhindarkan lagi pertemuan telapak tangan bergaris
tapak bagus itu dengan telapak tangan-tangan
saudara ayahku, anak anak saudara
ayahku, saudaraku seayah ibu. Yang kusebut terakhir termasuk yang istimewa. .
“Ini si penulis resep yang juga masih harus berjuang terus demi kesehatan
putranya” aku mengenalkannya ketika mereka berjabat tangan.
Pekerja kreatif setengah gila itu akhirnya bertemu dengan
orang-orang yang selama ini juga menjadi
bagian dari cerita-ceritaku yang mengalir bersama rasa dan rahasiaku. Terutama mengenai
si istimewa itu, karena pekerja kreatif setengah gila itu menaruh perhatian
terhadap adik-adik dan juga anak-anakku. Tak perlu meragukannya, dia – si
pekerja kreatif setengah gila itu – mungkin diciptakan Tuhan ketika Dia sedang
jatuh cinta. Sehingga ia sebenarnya mungkin bukan manusia, tetapi hati. Hati
yang punya telapak tangan dengan garis tapak tangan yang bagus.
Tuhan memang baik.
“Keren” kata dia suatu saat ketika kami sedang berdiskusi dan aku
mengutip satu ayat yang bahkan secara eksplisit menuliskan ajakan Tuhan agar siapa
saja kembali kepadaNya dan memasuki rumahNya. penuh dengan rasa kepuasan
dan juga kepuasan Tuhan atas seseorang itu. Rodhiyatan
Mardhiyah.
“Ya iyalah, keren. Gusti Allah gitu lhoh” aku senang karena tanpa sengaja
membawanya dan juga diriku sendiri, pada satu lagi kesadaran bahwa Dia begitu
keren dan hebat.
Sehebat skenario-Nya pada hari dimana aku bertemu darat untuk pertama
kalinya dengan guru yang sahabat sekaligus
sephia-ku bernama pekerja kreatif setengah gila itu.
Ternyata aku tak harus tenggelam dalam kegilaan yang lebih jauh seperti
bersamanya menikmati perselingkuhan dengan lunch atau dinner yang romantis di sebuah
resto, mengobrol panjang tak jelas di suatu lobby hotel tempatnya menginap, di
gelap gedung yang memutar film romantis, di rinai hujan di lorong lorong kota lama, di bangku
stasiun kereta. Tuhan menyelamatkan aku, karena di hari satu-satunya itu aku
harus ada di sekitar rumah saja karena ada acara haul (peringatan hari
kematian) sesepuhku.
Sungguh terselamatkan, jauh dari bayangan ketakutanku yang tak beralasan.
“Aku akan datang ke kota sebelah
utara dekat kotamu purnama depan” dibalik telpon terdengar suara baritonnya
yang hangat dan selalu membuatku merindu untuk ditelponnya lagi.
“Mungkin malam sebelum aku melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya, aku
akan menginap di kota sebelah selatan
kotamu” suaranya semakin berat
dan entah kenapa aku hampir lunglai mendengar kalimatnya barusan.
Seperti kelinci hendak diterkam serigala, aku menggigil dan
menggelepar-gelepar.
Lalu bayangan akan dua tangan saling menggenggam, berjalan bergandengan
di kota lama, mungkin menonton sebuah film yang selalu dia hembus-hembuskan
belakangan ini dan berakhir di bangku stasiun menunggu kereta yang akan
membawanya jauh ke kota timur kotaku. Dengan kepalaku bersandar di pundaknya,
duduk bersisian di bangku yang gambarnya selalu ada di note-ku dan note-nya..
Membayangkannya saja jantungku berdegup tak karuan dan kurasakan aliran
hangat menjalar di sekujur pembuluh darah dan semua bagian tubuhku. Aku sejenak
pingsan dalam ketakberdayaanku melawan tirani bersembunyi di balik topeng
bernama cinta. Yang tidak bisa aku
fahami dan menimbulkan kecemasan lebih lanjut - karena ini mungkin sekali
tanda-tanda aku stress - adalah aku terlambat datang bulan selama hampir dua
minggu. Oops..belum pernah terjadi sebelumnya kecuali aku hamil. Dan karena
tidak terjadi pembuahan karena bertemu saja bahkan belum pernah, jadi ini lebih
berbahaya daripada hamil. Aku alami gejala depresi dan ketakutan akan entah
apa.
Duduk bersamanya di tempat suci ini dengan wajah bersihnya dan telapak
tangan yang bergaris tapak tangan bagus menghentikan sejenak desir waktu.
“Malu ah” katanya ketika aku
menawarkan supaya dia duduk minum dan makan di rumahku saja. Daripada dia haus
dan lapar, karena kami hanya duduk di serambi masjid tanpa hidangan kecuali
perbincangan yang hangat tapi ngalor
ngidul.
“Iya juga. Ada
banyak sekali orang dan keluarga besar datang berkumpul di rumah. Ya sudahlah
disini saja”aku menurut saja.
Cuaca cerah, Senin kan
ya? Tapi kulihat banyak sekali wisatawan religi di kompleks masjid ini padahal
ini bukan hari libur. Kami tersembunyi
di keramaian, bahkan mungkin ada yang mengira kami juga wisatawan dan bukan dua
orang gila yang melalui perjalanan dan kisah gila sebelum mendarat bersama di
serambi masjid kuno ini.
Kukira pertemuan darat kami menghentikan kegilaan kami di maya. Tapi
ternyata tidak. Segalanya masih sama seperti sebelum pertemuan. Kegilaan yang
sama.
Aku kadang berada di ruang cemburu dan ragu tiap kali mengingat bahwa ia
bukan milikku. Tapi juga di labirin ceria dan hangat mengingat ia tetap setia
menelponku dua tiga kali sehari.. Seringkali muncul pertanyaan dalam
benakku sendiri, tapi tak pernah kutanyakan padanya, ke mana istrinya. Kenapa bukan
istrinya yang menerima kelimpahan perhatian dan kasih sayang ini. Siapa yang
tidak normal di antara mereka berdua, istrinya atau pekerja kreatif setengah
gila itu. Jangan tanya diriku, kalau aku jelas tidak normal karena mau-maunya
terlibat dengan suami orang. Bukan pula untuk bersama dalam pernikahan kedua,hanya
untuk bersama menumpahkan kegelisahan dan mengawinkan ide serta tulisan –tulisan
kami. Kami menyebutnya sebagai persahabatan.
“Aku mulai capek dengan permainan dan perjalanan yang tak berujung ini”
aku menyampaikan keluhan.
“Kamu mau pergi?” pekerja kreatif setengah gila itu bertanya dengan
kalimat tertahan seperti menahan pertahananku yang hampir tak bertahan lagi.
Lagu cintaku, cintamu, cinta kita, Nicky Ukur terus menerus diputar
melatari percakapan ini. Dari sejumlah novel dan film sering disitir, yang
paling disesali bukanlah perpisahan, tapi pertemuan. Kenapa bertemu? Kenapa?
Tak ada jawaban kecuali jerawat yang datang setelah bertahun lamanya tak
menyinggahi pipi si perempuan rapuh kesepian. Mungkinkah itu karena ia
menyentuh telapak tangan yang garis tapak tangannya bagus ?
Tentang Penulis:
Dian Nafi. Lulusan Arsitektur Undip berlatar
belakang keluarga santri. Mencintai buku sejak usia dini. Pecinta purnama,
penikmat hujan. Setia dalam pencarian, penjelajahan. Mengelola konsultan
arsitektur, penerbitan dan PAUD sambil mengasuh dua yatimnya. Pimred Majalah
Digital De Magz. Pemenang Favorit Lomba Cerpen ROHTO 2011. Peserta Terpilih
dalam Workshop Kepenulisan Cerita Anak bersama PBA & KPK 2011. Menang Lomba
Menulis Bareng Ahmad Fuadi-penulis Negeri Lima Menara. Dan berbagai lomba
menulis lainnya. Penulis Novel Mayasmara dan 8 buku solo-duet serta 52 Antologi
.Di antaranya: Twinlight,
Titik Balik, LL Serendipity, Be Strong Indonesia, Para Guru Kehidupan,
Bicaralah Perempuan, For The Love of Mom, Karyawan Gokil, Dear Love, Balita
Hebat, Gado-gado Poligami (ElexMedia) Berjalan Menembus Batas (Bentang),
Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama) 101 Ide Bisnis Online (GPU), Detik
Demi Detik (Pena Oren) Twit@ummihasfa.
For reservation, review and any other collaboration, please do not hesitate to contact at 085701591957 (sms/wa) DM twitter @DeMagz_ https://twitter.com/DeMagz_ DM IG @vivademak https://www.instagram.com/vivademak/ inbox FB Page: https://www.facebook.com/demagz/ Line: diannafi57 Email: demagzcie@gmail.com