Cerpen by Dian Nafi
TAPAK TANGAN
Aku tidak mau mengakuinya tapi tampak jelas jika pusat duniaku sesaat ,
entah berapa lama, berpindah pada seseorang
yang agak gila ini. Dia mengaku sebagai seorang pekerja kreatif. Okelah, mari
kita menyebutnya begitu.
“Ummi jatuh cinta” empat tahun
usianya tapi cukup cerdik untuk memahami apa yang terjadi dan cukup berani
untuk menyampaikan kejujuran.
“Kata siapa?” seorang pekerja kreatif yang agak gila di depanku bertanya
dengan kumisnya yang tersenyum penuh kemenangan. Dia menyentuh rambut perempuan kecil itu dengan telapak
tangannya yang putih.
“Rambut yang bagus” pujian untuk seorang balita yang berada di pihaknya,
padahal dia anakku.
Dia membuka telapak tangannya,
mengajak anak perempuanku give him five,
give him ten. Dua telapak tangan yang bagus dengan garis –garis tapak
tangan yang jelas M nya. Lurus, rapi.
“Bagaimana bisa?” meloncat begitu saja pertanyaanku.
“Apanya?” pekerja kreatif agak gila itu balik bertanya.
“Garis tapak tangan kamu bagus. Kenapa bertemu aku? Garis tapak tanganku
tak bagus, karenanya aku boleh melakukan kegilaan.”
Aku menyimpan pedihku karena dia mungkin tidak segila yang aku kira tapi
aku mengasumsikannya demikian. Maaf. Bahkan dia lebih muda dari fotonya. Aku
menyukai gayanya berpakaian. Muda banget untuk seumuran dia yang sepuluh tahun
lebih tua dariku, padahal aku sendiri sudah 34.
“Aku sudah memikirkannya. Kita akan menulis trilogi untuk cerita kita
yang kemarin” seperti biasa pekerja kreatif setengah gila itu mengalihkan
pembicaraan.
Lalu kami tenggelam dalam genangan ide dan banjir lahar kata-kata dan
sejenak melupakan fakta bahwa aku semakin jauh terlibat dengan suami orang.
“Apa ada yang salah dengan selingkuh tulisan?” tanyanya, tanyaku juga.
Selingkuh tetap saja selingkuh. Dan itu tidak sama dengan setia. Tak lagi
mempunyai pemahaman atas selingkuh dan setia membuat kami menikmati sesuatu entah apa. Dan
ada rasa bersalah selalu singgah sesudahnya. Tidakkah cukup membuktikan bahwa
keterlibatan dan ketenggalaman ini adalah suatu kesalahan yang biasa disebut
sebagai dosa.
“Tolong kembali memutar dan drop in
lagi ya” tergesa aku menelpon pekerja kreatif setengah gila itu. Dan kukira dia
menyambutnya dengan gembira, tentu saja dia senang dengan caraku menahannya
pergi. Seperti aku juga seringkali senang dengan caranya selalu kembali dan
membuatku tak bisa berpaling.
“Ada yang belum usai?” senyum dengan kumisnya yang menantang benar-benar
hampir meruntuhkan duniaku. Dia turun dari mobil yang mengantarnya berputar
kembali untuk menemuiku untuk yang kedua kalinya di pertemuan pertama kami, di
hari yang satu-satunya ini.
Kami kembali berjalan beriringan, kali ini hanya berdua. Karena aku sudah
membawa pulang ke rumah anak perempuan kecilku yang tadi menemani kami berdua. Putri
cantikku yang selalu merindukan ayahnya di surga dan selalu senang jika ada
pria dewasa di dekatnya, dia sudah banyak membantu tadi. Memecah kekakuan
antara kami yang sebelumnya hanya bertemu di maya. Saatnya berdua saja, seperti
yang selalu kami tuliskan bersama dalam karya-karya kami.
Dia terus bicara tentang film, tulisan, konser, tour, buku dan apa saja. Dan aku,
perempuan kesepian yang rapuh, sudah cukup nyaman hanya dengan berjalan
bersisian dengannya. Kesatuan jiwa seindahnya dipadu dalam ikatan yang sah.
Namun meski dia seseorang yang sangat
nyaman untuk dijadikan belahan jiwa , figur yang bisa dijadikan ayah bagi
anak-anak siapa saja, tetapi mungkin bukan calon yang ideal menurut nilai-nilai dalam keluarga besarku.. Kami
berbeda di banyak hal, tetapi sebenarnya mirip di banyak hal lainnya. Tapi ada
yang bilang jika dua orang berbeda gender saling tertarik dan kemudian bertemu di masjid kuno dengan tiang dari
Majapahit ini, akan menikah pada suatu saatnya nanti. Kalian pernah dengar
mitos ini?
**
“Kenapa?” dia bertanya heran melihatku mengambil langkah mundur lalu
mengambil tempat disebelah kirinya berjalan setelah sebelumnya berada di
sebelah kanannya.
“Ooooo…” ada seorang gila beneran dengan pakaian setengah telanjang
berjalan dari arah berlawanan.
“Hehehe..orang gila takut orang gila” aku yang mengaku gila juga
menyembunyikan malu di wajahku yang memerah ketika sesaat tadi berada di
belakang punggung pekerja kreatif setengah gila yang aku gilai. Nyamannya
punggung yang bukan milikku, jadi lupakan untuk bersandar di sana apalagi memeluk pinggangnya.
“Oh No!” sekali lagi aku
terkejut. Kali ini hendak melarikan diri Karena kami berpapasan dengan serombongan
orang yang hendak pergi ke makam untuk kirim doa bagi sesepuh yang dihauli hari
ini. Tapi aku mengurungkan niatku. Pekerja kreatif setengah gila ini telah
meluangkan waktu dan energinya untuk terbang 45 menit dari kota yang sangat
jauh, melalui rangkaian kerja dua hari dua malam yang melelahkan, balik lagi dari kota sebelah
selatan kotaku setelah menempuh dua jam pulang-pergi kembali ke utara untuk
bertemu aku, dan aku tidak cukup memberinya penghargaan? Tuan rumah macam apa
aku ini? Kekasih macam apa aku ini yang meninggalkan kekasihnya begitu saja
karena rasa segan yang terinternalisasi dalam diriku - bagian dari segerombolan
manusia yang disebut sebagai keluarga, yang menjunjung tinggi sesuatu yang
disebut dengan kehormatan?
Sejurus kemudian tak terhindarkan lagi pertemuan telapak tangan bergaris
tapak bagus itu dengan telapak tangan-tangan
saudara ayahku, anak anak saudara
ayahku, saudaraku seayah ibu. Yang kusebut terakhir termasuk yang istimewa. .
“Ini si penulis resep yang juga masih harus berjuang terus demi kesehatan
putranya” aku mengenalkannya ketika mereka berjabat tangan.
Pekerja kreatif setengah gila itu akhirnya bertemu dengan
orang-orang yang selama ini juga menjadi
bagian dari cerita-ceritaku yang mengalir bersama rasa dan rahasiaku. Terutama mengenai
si istimewa itu, karena pekerja kreatif setengah gila itu menaruh perhatian
terhadap adik-adik dan juga anak-anakku. Tak perlu meragukannya, dia – si
pekerja kreatif setengah gila itu – mungkin diciptakan Tuhan ketika Dia sedang
jatuh cinta. Sehingga ia sebenarnya mungkin bukan manusia, tetapi hati. Hati
yang punya telapak tangan dengan garis tapak tangan yang bagus.
Tuhan memang baik.
“Keren” kata dia suatu saat ketika kami sedang berdiskusi dan aku
mengutip satu ayat yang bahkan secara eksplisit menuliskan ajakan Tuhan agar siapa
saja kembali kepadaNya dan memasuki rumahNya. penuh dengan rasa kepuasan
dan juga kepuasan Tuhan atas seseorang itu. Rodhiyatan
Mardhiyah.
“Ya iyalah, keren. Gusti Allah gitu lhoh” aku senang karena tanpa sengaja
membawanya dan juga diriku sendiri, pada satu lagi kesadaran bahwa Dia begitu
keren dan hebat.
Sehebat skenario-Nya pada hari dimana aku bertemu darat untuk pertama
kalinya dengan guru yang sahabat sekaligus
sephia-ku bernama pekerja kreatif setengah gila itu.
Ternyata aku tak harus tenggelam dalam kegilaan yang lebih jauh seperti
bersamanya menikmati perselingkuhan dengan lunch atau dinner yang romantis di sebuah
resto, mengobrol panjang tak jelas di suatu lobby hotel tempatnya menginap, di
gelap gedung yang memutar film romantis, di rinai hujan di lorong lorong kota lama, di bangku
stasiun kereta. Tuhan menyelamatkan aku, karena di hari satu-satunya itu aku
harus ada di sekitar rumah saja karena ada acara haul (peringatan hari
kematian) sesepuhku.
Sungguh terselamatkan, jauh dari bayangan ketakutanku yang tak beralasan.
“Aku akan datang ke kota sebelah
utara dekat kotamu purnama depan” dibalik telpon terdengar suara baritonnya
yang hangat dan selalu membuatku merindu untuk ditelponnya lagi.
“Mungkin malam sebelum aku melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya, aku
akan menginap di kota sebelah selatan
kotamu” suaranya semakin berat
dan entah kenapa aku hampir lunglai mendengar kalimatnya barusan.
Seperti kelinci hendak diterkam serigala, aku menggigil dan
menggelepar-gelepar.
Lalu bayangan akan dua tangan saling menggenggam, berjalan bergandengan
di kota lama, mungkin menonton sebuah film yang selalu dia hembus-hembuskan
belakangan ini dan berakhir di bangku stasiun menunggu kereta yang akan
membawanya jauh ke kota timur kotaku. Dengan kepalaku bersandar di pundaknya,
duduk bersisian di bangku yang gambarnya selalu ada di note-ku dan note-nya..
Membayangkannya saja jantungku berdegup tak karuan dan kurasakan aliran
hangat menjalar di sekujur pembuluh darah dan semua bagian tubuhku. Aku sejenak
pingsan dalam ketakberdayaanku melawan tirani bersembunyi di balik topeng
bernama cinta. Yang tidak bisa aku
fahami dan menimbulkan kecemasan lebih lanjut - karena ini mungkin sekali
tanda-tanda aku stress - adalah aku terlambat datang bulan selama hampir dua
minggu. Oops..belum pernah terjadi sebelumnya kecuali aku hamil. Dan karena
tidak terjadi pembuahan karena bertemu saja bahkan belum pernah, jadi ini lebih
berbahaya daripada hamil. Aku alami gejala depresi dan ketakutan akan entah
apa.
Duduk bersamanya di tempat suci ini dengan wajah bersihnya dan telapak
tangan yang bergaris tapak tangan bagus menghentikan sejenak desir waktu.
“Malu ah” katanya ketika aku
menawarkan supaya dia duduk minum dan makan di rumahku saja. Daripada dia haus
dan lapar, karena kami hanya duduk di serambi masjid tanpa hidangan kecuali
perbincangan yang hangat tapi ngalor
ngidul.
“Iya juga. Ada
banyak sekali orang dan keluarga besar datang berkumpul di rumah. Ya sudahlah
disini saja”aku menurut saja.
Cuaca cerah, Senin kan
ya? Tapi kulihat banyak sekali wisatawan religi di kompleks masjid ini padahal
ini bukan hari libur. Kami tersembunyi
di keramaian, bahkan mungkin ada yang mengira kami juga wisatawan dan bukan dua
orang gila yang melalui perjalanan dan kisah gila sebelum mendarat bersama di
serambi masjid kuno ini.
Kukira pertemuan darat kami menghentikan kegilaan kami di maya. Tapi
ternyata tidak. Segalanya masih sama seperti sebelum pertemuan. Kegilaan yang
sama.
Aku kadang berada di ruang cemburu dan ragu tiap kali mengingat bahwa ia
bukan milikku. Tapi juga di labirin ceria dan hangat mengingat ia tetap setia
menelponku dua tiga kali sehari.. Seringkali muncul pertanyaan dalam
benakku sendiri, tapi tak pernah kutanyakan padanya, ke mana istrinya. Kenapa bukan
istrinya yang menerima kelimpahan perhatian dan kasih sayang ini. Siapa yang
tidak normal di antara mereka berdua, istrinya atau pekerja kreatif setengah
gila itu. Jangan tanya diriku, kalau aku jelas tidak normal karena mau-maunya
terlibat dengan suami orang. Bukan pula untuk bersama dalam pernikahan kedua,hanya
untuk bersama menumpahkan kegelisahan dan mengawinkan ide serta tulisan –tulisan
kami. Kami menyebutnya sebagai persahabatan.
“Aku mulai capek dengan permainan dan perjalanan yang tak berujung ini”
aku menyampaikan keluhan.
“Kamu mau pergi?” pekerja kreatif setengah gila itu bertanya dengan
kalimat tertahan seperti menahan pertahananku yang hampir tak bertahan lagi.
Lagu cintaku, cintamu, cinta kita, Nicky Ukur terus menerus diputar
melatari percakapan ini. Dari sejumlah novel dan film sering disitir, yang
paling disesali bukanlah perpisahan, tapi pertemuan. Kenapa bertemu? Kenapa?
Tak ada jawaban kecuali jerawat yang datang setelah bertahun lamanya tak
menyinggahi pipi si perempuan rapuh kesepian. Mungkinkah itu karena ia
menyentuh telapak tangan yang garis tapak tangannya bagus ?
Tentang Penulis:
Dian Nafi. Lulusan Arsitektur Undip berlatar
belakang keluarga santri. Mencintai buku sejak usia dini. Pecinta purnama,
penikmat hujan. Setia dalam pencarian, penjelajahan. Mengelola konsultan
arsitektur, penerbitan dan PAUD sambil mengasuh dua yatimnya. Pimred Majalah
Digital De Magz. Pemenang Favorit Lomba Cerpen ROHTO 2011. Peserta Terpilih
dalam Workshop Kepenulisan Cerita Anak bersama PBA & KPK 2011. Menang Lomba
Menulis Bareng Ahmad Fuadi-penulis Negeri Lima Menara. Dan berbagai lomba
menulis lainnya. Penulis Novel Mayasmara dan 8 buku solo-duet serta 52 Antologi
.Di antaranya: Twinlight,
Titik Balik, LL Serendipity, Be Strong Indonesia, Para Guru Kehidupan,
Bicaralah Perempuan, For The Love of Mom, Karyawan Gokil, Dear Love, Balita
Hebat, Gado-gado Poligami (ElexMedia) Berjalan Menembus Batas (Bentang),
Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama) 101 Ide Bisnis Online (GPU), Detik
Demi Detik (Pena Oren) Twit@ummihasfa.
0 Comments:
Posting Komentar