Cara Cari Muka # 1 : branding your program/activity as a critical part for company’s success. Desain dan kembangkan program yang kredibel dan inovatif (ini saja sudah memerlukan kompetensi). Namun yang tak kalah penting : branding program itu secara komunikatif (kalau perlu diresmikan dalam company event biar lebih ngejreng). Pastikan dalam keseluruhan proses itu, peran Anda “menonjol dan kelihatan” (dan memang ditopang oleh kecakapan).
Siasat diatas akan secara dramatis melambungkan nama Anda sebagai “rising star” – apalagi jika memang program/inisiatif itu bisa dijalankan dengan sukses.
Cara Cari Muka # 2 : bergiatlah secara aktif dalam company-wide initiatives (yang bersifat lintas departemen); misal seperti projek penerapan six sigma initiative, projek penerapan 5S atau balanced scorecard; atau projek pengembangan market baru.
Dan pastikan dalam inisiatif yang lintas bagian itu, Anda punya peran yang menonjol (entah sebagai team leader, atau sekedar aktif mengajukan solusi ide dalam meeting-meeting projek). Peran aktif Anda dalam inisiative seperti ini merupakan sarana ampuh to market yourself (ingat, personal branding).
Dibanyak perusahaan, orang yang aktif dalam company wide initiatives semacam diatas, cenderung lebih cepat dipromosikan. Ndak percaya? Coba saja sendiri.
Cara Cari Muka # 3 atau yang terakhir : bangunlah network internal dan posisikan Anda/departemen Anda sebagai good partner yang helpful. Selama ini di banyak organisasi, acap terjadi konflik antar departemen lantaran ego sektoral dan perbedaan kepentingan/prioritas. Koordinasi jadi macet.
Jangan ulangi kesalahan semacam itu. Posisikan tim Anda sebagai partner yang selalu gigih mencari win-win solution. Teruslah bergerak tanpa lelah ke setiap bagian/departemen, bangun komunikasi yang konstruktif, dan tawarkan aksi konkrit untuk memajukan kinerja bersama.
Cara yang ketiga ini niscaya akan membuat nama Anda menjadi “harum mewangi” dalam setiap sudut bangunan kantor Anda bekerja. Because, yes, you are a really good partner who drives performance.
Demikianlah tiga cara elegan untuk mempraktekkan impression management. Apply these impression skills; and your career will be moving forward. Ignore them, and your career will be dead in the middle of nowhere.
Andy F Noya memegang buku Berjalan Menembus Batas dalam episode MAN JADDA WAJADA, KICK ANDY SHOW MetroTV.
Buku ini dibagikan untuk audience di studio. Juga dibagikan untuk yang mengikuti kuis buku gratis yang diadakan Kick Andy di webnya.
**
Tentang Buku Berjalan Menembus Batas yang ditulis Dian Nafi bersama Ahmad Fuady dkk
Keterbatasan, baik fisik, materi, maupun lingkungan terkadang menjadi dalih untuk tidak dapat meraih impian. Padahal, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil! Kesungguhan menumbuhkan harapan, sikap positif, dan memperbesar peluang berhasil bagi yang melakukannya.
Cerita-cerita inspiratif dalam buku ini membuktikan kebenaran pepatah Arab tersebut. Kekurangan menjadi suatu kekuatan, dan keterbatasan bukanlah halangan dalam meraih keberhasilan. Ditulis langsung dari pengalaman nyata para tokoh, buku ini menularkan ruh penuh semangat untuk bangkit menembus batas.
Ayo, tularkan semangat berusaha dan berjuang semaksimal mungkin. Bahkan langit kini tak lagi menjadi batas.
PETITAH Perjalanan Menuju Awal ramadhanan Penulis: a[rt]gus faizal Penerbit: Hasfa Publisher HADIR DI TB GRAMEDIA
bisa dibeli online. Rp 15rb, bebas ongkir. silakan inbox @Hasfa Publisher/ Hasfa Publisher Dua utk pemesanan atau sms 081914032201
Ramadlan memang harus berakhir dengan Lebaran. Namun ramadhanan tidak boleh selesai di batas lebaran. Justru dengan datangnya Lebaran perjalanannya baru saja dimulai dan itu tidak pernah tahu sampai dimana akhirnya. Lebaran 1432H memang sudah berakhir, dan berakhir dengan ketentuan penetapan waktu yang bercabang. Padahal mungkin Tuhan tidak ambil pusing kapan tibanya Lebaran. Bisa saja Tuhan lebih peduli bagaimana umat bersatu dalam berlebaran. Sehingga menjadi sebuah konser akbar beserta semesta raya alam. Bahkan mungkin Tuhan lebih tertarik, bagaimana Ramadhan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari setelah berlebaran.
Buku ini inginnya menjadi sebuah ramadhanan yang sempit dituliskan. Tidak ingin menjadi sebuah kenangan, karena akan menjadi Flamboyan yang disemboyankan. Tetapi ingin menjadi sebilah pedang, karena sebilah pedang tidak dibuat dengan belaian lembut, tapi oleh tempaan palu dan api. Karena hidup adalah perjuangan, bagi setiap ksatria.
21-27 Mei 2012 Pameran Buku di Gedung Koni KotaWali
Pameran Buku, Oase Bagi Minat Baca Buku Yang Mengering
Hasil penelitian Program for Internasional Student Assessment (PISA) 2009 sebagaimana dikutip Editorial Kompasiana (Kompas 24 Mei 2012) menunjukkan bahwa minat masyarakat Indonesia dalam membaca buku masih rendah. Indonesia berada di posisi sembilan terbawah, atau peringkat 57 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam penelitian.
Di Demak hal itu bisa kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari, jarang kita temui aktivitas orang membaca buku di ruang publik, saat menunggu, atau dalam perjalanan. Bahkan yang berseragam sekolah atau mahasiswa sekalipun jarang kedapatan membaca buku.
Sedikitnya jumlah dan ragam buku berkualitas yang up to date, serta akses buku yang sulit dan mahal, kerap menjadi kendala yang ditemui di daerah. Tradisi bertutur lisan dalam menyebarkan dan menggali informasi, ditambah maraknya budaya komunikasi non-lisan melalui gadget (sms,googling, media sosial) semakin sirnalah kebiasaan membaca buku.
Untuk itu perlu upaya menumbuhkan budaya membaca buku di masyarakat. Salah satunya adalah menghadirkan beragam jenis buku berkualitas dengan harga murah dalam jumlah banyak. Pemkab Demak pada tanggal 21 - 27 Mei 2012 menyelenggarakan Pesta Sejuta Buku guna menghadirkan buku-buku murah dan berkualitas. Pameran buku ini diharapkan menjadi oase bagi minat baca yang selama ini mengering. Beragam jenis buku berkualitas menjadi sumber penawar yang mengobati dahaga kebutuhan informasi warga. Kebutuhan informasi dan ilmu pengetahuan dalam mengatasi permasalahan kehidupan yang makin rumit, diharapkan dapat dipenuhi dari buku-buku tersebut. Sehingga masyarakat menjadi tertarik menggali ilmu dari buku.
Upaya meningkatkan tradisi membaca buku lewat pameran buku tersebut ternyata tidak mudah, hal ini terlihat dari animo berkunjung masyarakat yang kurang memuaskan. Hingga hari kelima, pameran yang diselenggarakan oleh pemkab Demak di gedung KONI ini jumlah pengunjungnya masih sedikit. Kalah ramai dari pengunjung pasar malam, gerebek besar, atau bazar sembako. Juga jika dibandingkan dengan pameran-pameran buku di kota - kota lainnya.
Kondisi demikian perlu dievaluasi agar penyelenggaraan event berikutnya bisa lebih memuaskan. Sebagai saran bagi penyelengara: acara pendudung perlu dikemas lebih menghibur, menambahkan unsur-unsur lokal, menggabungkan konsep pasar malam gerebek besar dan pameran2 lainnya yang telah sukses dihelat.
Publikasi yang kurang greget pada acara ini perlu mendapat perhatian agar acara berikutnya gaungnya lebih terdengar meriah. Konsep publikasi yang dilakukan penyelenggara pasar malam gerebek besar bisa diadaptasi, seperti memenuhi titik-titik ramai dan dijalan-jalan utama dengan spanduk/baliho, menggandeng radio suara kota wali atau media masa, serta menyelenggarakan event pendahuluan atau saat pameran yang menyedot perhatian masa sangat banyak seperti acara jalan sehat berhadiah motor, hadiah itu tiap hari diarak keliling dari kampung ke kampung. Jika publikasi dirasa mahal dan menyedot anggaran besar panitia bisa menggandeng sponsor atau donasi dari CSR perusahaan yang selama ini peduli terhadap pendidikan.
Pemilihan tanggal penyelenggaraan dirasa penting, penyelenggaran pameran di tanggal tua bisa menyebabkan masyarakat malas mengunjungi pameran. Hal ini sangat dimaklumi karena mayoritas masyarakat yang berpenghasilan bulanan, anggaran belanja nya (termasuk anggaran beli buku) telah ditunaikan jauh-jauh hari di tanggal muda. Sehingga pada tanggal tua, menyisakan uang yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, dan sedikit untuk ditabung. Oleh karena itu penyelenggaraan pameran sebaiknya diselenggarakan antara tanggal 28 hingga tanggal 4 bulan berikutnya.
Peran Penerbit dan Toko Buku
Selain pemerintah yang wajib mendorong masyarakat untuk meningkatkan budaya membaca buku, penerbit dan toko buku juga dituntut turut serta melakukan peran yang sama. Mereka perlu mengedukasi masyarakat dan mengambil perhatian masyarakat terhadap buku.
Jika kita melihat produsen rokok, barang elektronik, consumer goods, dan industri perbankan gencar melakukan promo dan iklan, baik melalui above the line maupun bellow the line guna mencuci otak masyarakat agar berminat terhadap produk mereka, maka sudah seharusnya penerbit dan toko buku melakukan usaha yang sama, bahkan lebih, untuk mengambil hati masyarakat agar tertarik pada buku. Terlebih upaya ini punya sisi yang mulia yaitu mencerdaskan masyarakat. Kesediaan penerbit dan Toko buku menjemput bola, berpartisipasi dalam Pesta Sejuta Buku patut diacungi jempol.
Kita sebagai masyarakat, seberapa besar 'budaya membaca buku' kita? Kita berharap upaya mentradisikan membaca buku mendapat dukungan dari berbagai pihak dan bisa sukses.
Judul : Segitiga Penulis : Dian Nafi & Nessa Kartika Penerbit : Hasfa Publishing Terbit : Mei 2012 Halaman : vi + 120 halaman
Sudah menjadi sifat manusia bahwa dia akan
melakukan apapun demi kepuasan dirinya sendiri. Tak peduli apakah keinginan itu
merugikan orang lain atau tidak. Untuk itu, tak heran rasanya jika semakin hari
semakin banyak kita temukan tangan-tangan jahil yang memanfaatkan kekuasaannya
untuk mendapatkan keuntungan. Yang dirugikan, justru orang-orang awam yang tak
mengerti sama sekali. Sebut saja korupsi, misalnya.
Seperti yang dikisahkan dalam novel duet ini,
bahwa kekuasaan mampu membungkam mulut siapa saja, termasuk anggota-anggota LSM
yang seharusnya bisa mewakili aspirasi masyarakat. Yang benar menjadi salah,
yang salah pun terkesan dibenarkan. Berbagai negosiasi dan ‘main belakang’
selalu menjadi cara kerjanya.
Novel yang berbau permainan politik ini tidak
terkesan kaku karena di dalamnya terselip kisah-kisah cinta yang bahkan bisa
dikata mendominasi bagian dari novel duet ini. Segitiga, lebih tepatnya saya
pribadi menyebutnya segitiga cinta. Ada tiga titik terhubung yang mencoba untuk
meraih satu tujuan, yaitu cinta. Cinta antara Nuning, Ryan, dan Faisal. Meski
pada akhirnya cinta pula yang membuat Nuning mengambil keputusan terbesar dalam
hidupnya untuk membatalkan pernikahan demi kembali pada cinta yang dia rasakan
lebih pantas untuk dimiliki.
Novel karya Dian Nafi dan Nessa Kartika ini juga
kental dalam penyajian setting dan tokoh-tokohnya. Pembaca akan digiring
memasuki kawasan Yogyakarta yang memang sengaja diciptakan sebagai setting
utama.
Cover depan yang fresh dengan color orange
sangat menarik siapa saja untuk memiliki novel ini. Ditambah dengan ilustrasi
yang keren tapi tidak terkesan glamour membuat novel ini terlihat elegan.
Namun di novel ini juga banyak ditemukan
paragraf yang mengandung kalimat-kalimat kiasan yang membuat pembaca harus
berpikir ulang untuk mencernanya. Apalagi ditambah dengan loncatan plot yang
kadang terasa sangat cepat.
Selebihnya, Anda perlu memiliki novel ini
segera. Ada pesan-pesan moral yang ingin dituturkan oleh kedua penulis tanpa
bermaksud menggurui. Bahwasanya hukum di negara kita ternyata masih terlalu
kerdil untuk mengatasi seorang koruptor, bahkan seorang pengusaha kaya yang
dikelilingi oleh antek-anteknya.
Meski belum bisa menghubungi Wida, kami tak mau ambil pusing. Keputusan yang diambil, lebih baik kami berkorban menunggu beberapa jam di bandara daripada Wida datang jauh-jauh dari Mesir tanpa seorangpun tampak menjemputnya. Karenanya kami bergegas masuk mobil dan Amand dengan lincahnya mengendarai melewati segala kemacetan. Sehingga kami tiba di bandara jam enam lebih sedikit. Langit telah menenggelamkan mentari dan lampu-lampu merkuri memandikan jalan raya, pepohonan perdu dan rerumputan di taman jalan juga mobil-mobil yang terparkir berjajar di depan bandara.
Rayhan –sulungku tujuh tahun- dan adiknya Nayla berlarian sepanjang koridor. Mereka sudah hafal ke mana harus duduk menunggu jika tujuannya adalah menjemput. Di terminal kedatangan.
“Masih belum bisa dihubungi bu?” tanyaku pada ibu karena aku juga belum berhasil menghubungi Wida-adikku yang rencananya datang malam ini dari Mesir setelah empat tahun masa studi di Al Azhar.
“Belum. Kita tunggulah” jawab ibu sambil duduk di kursi panjang berbahan metal berwarna silver yang sudah mulai korosi di sana sini, terlalu sering diduduki.
Untunglah Rayhan dan Nayla menikmati acara menunggu ini dengan tanpa rasa terbebani. Aku berhasil menyuapi mereka makan malam yang telah kubawa dari rumah dalam sebuah wadah yang menjaga makanan tetap hangat.
Ponselku berdering pendek. Sebuah pesan singkat dari adik lelakiku –Kamal.
Wida sudah datang belum, mbak? Aku berangkat langsung dari Solo. Sekarang baru sampai tugu muda.
Kamal belajar spesialis penyakit dalam di Solo setahun ini. Meski waktunya sempit karena jam tiga dini hari nanti ia harus kembali lagi ke Solo untuk jaga sebagai residen, ia selalu menyempatkan datang untuk acara penting seperti ini.
Belum datang. Aku dan ibu masih di bandara kok.
Pesan singkatku sebagai jawaban tak lama kemudian terjawab dengan kehadirannya. Satu-satunya lelaki di antara kami empat bersaudara. Dia mencium punggung tangan ibu dan milikku dengan takdzim. Masih tidak berubah sejak dulu. Dua krucilku menyambutnya dengan hangat.
“Bagaimana? Coba kamu tanyakan ke konter-konter itu. Supaya jelas ada nama adikmu tidak di daftar penumpang mereka?” ibu mulai cemas. Dan aku berlari ke konter-konter tiket pesawat yang ada di ujung lain dari bandara ini. Mencari tahu tapi ternyata tidak ada nama adikku di daftar penumpang pesawat manapun.
Ketika aku kembali ke terminal kedatangan, menemui ibu di bangku panjang tempatnya dua jam ini menunggu tanpa kejelasan, ibu sedang mengakhiri perbincangan di ponselnya.
“Adikmu masih di bandara Soeta. Tidak terkejar naik pesawat ke Semarang malam ini. Kemungkinan besok pagi baru bisa terbang. Kita pulang. Besok ke sini lagi” ibu bangkit dari tempat duduknya. Tampak lelah sekali.
“Wah sayang sekali. Aku jam tiga dinihari ini harus balik lagi ke Solo” gerutu adik lelakiku. Ah, ternyata dia menyempatkan diri hadir di bandara ini di tengah waktunya yang sempit harus jaga bangsal dan pasien rumah sakit sebagai bagian dari pendidikan spesialisnya.
“Iya, nggak apa. Besok ibu sama kakakmu saja lagi yang menjemput. Mana Rayhan dan Nayla?” ibu bahkan masih mengkhawatirkan cucu-cucunya.
Dua balitaku berlari mendekat ke nenek mereka. Seolah mengerti isyarat mataku kepada mereka yang berlari-larian di area dekat televisi besar yang tergantung di terminal kedatangan ini. Kami semua meninggalkan bandara malam itu dengan rencana kembali besok hari setelah ada kabar dari Wida mengenai jadual terbangnya dari Jakarta.
**
Jam dua belas siang kami kembali berada di terminal kedatangan. Ibu kelelahan sebenarnya karena tiga hari ini berkutat dengan persiapan banyak acara dan tiga hari ke depan juga akan melakukan beberapa kegiatan penting dan juga perjalanan, termasuk reuni dengan teman-teman kampusnya dulu. Tapi ibu tak mungkin melewatkan acara penting ini. Anak bungsunya, satu-satunya yang studi sampai keluar negeri akan pulang hari ini setelah empat tahun tinggal di Kairo.
Di terminal kedatangan kali ini suasananya lebih ramai. Aku menikmatinya sambil menunggu kedatangan adikku. Pemandangan orang – orang yang gelisah menunggu, hilir mudik petugas yang membersihkan lantai, ada yang membantu mereka yang mencari taksi, orang-orang yang saling berpelukan ketika bertemu dengan yang dijemput.
Seorang bule dan perempuan muda agak jauh dari terminal kedatangan, berdiri berhadapan dengan senda gurau dan tertawa – tawa kecil meski tak bisa menutupi raut murung di wajah mereka. Ekspresi perpisahan yang berat namun harus terjadi. Mengingatkan diriku sendiri ketika melepas Alexander Kudzierko kembali ke Inggris setelah setahun bersamaku memegang kendali marketing di sebuah perusahaan eksportir furniture.
Sambil terus mengawasi dua anakku, mataku bergeser ke pintu terminal kedatangan karena beberapa orang keluar dari sana. Seorang lelaki tinggi berkaca mata membawa tas ransel di punggungnya dengan satu koper besar beroda, mencium punggung tangan seorang perempuan setengah baya berjilbab. Mungkin ibunya. Lalu mencium punggung tangan seorang lelaki beruban berwajah simpatik, mungkin ayahnya. Si anak yang membanggakan itu mungkin seperti adikku. Baru saja menyelesaikan studinya di luar negeri dan membawa pulang kemenangan berikut harapan-harapan baru.
Serombongan orang berseragam batik ungu tampak keluar dari pintu terminal kedatangan. Terbaca tulisan pada emblem di seragam bagian dada kirinya. Sebuah perusahaan tour umroh haji yang terkenal di Semarang. Rupanya mereka pulang umroh.
“Berapa jumlah rombongan bu? berapa hari bu umrohnya?” aku bertanya dengan seorang perempuan di antara mereka yang terdekat denganku.
“Ada Sembilan puluh orang. Umrohnya sembilan hari sudah termasuk perjalanan. Tiga hari di Mekkah, tiga hari di Medinah” jawabnya lengkap seperti tahu persis seperti apa jawaban yang kuinginkan darinya.
Para jamaah tampak dijemput keluarganya masing-masing. Mengharukan sekali. Saat kucium punggung tangan beberapa ibu jamaah umroh itu, seakan aroma Makkah Madinah tercium olehku. Hatiku haru oleh kerinduan. Tiga tahun lalu tepatnya aku Alhamdulillah pergi berhaji. Dan selalu hatiku menangis dan berharap ingin ke sana lagi setiap kali melihat rombongan umroh atau haji.
Sekejap kemudian aku sadar mungkin sekali Wida ada dalam pesawat yang sama dengan rombongan umroh ini. Mataku bergegas gerilya mencari sosok mungil adikku itu. Empat tahun yang panjang bagi ibuku tentu saja. Dengan segala carut marut dan kekisruhan di bumi kinanah itu. Pertemuan ini akan menjadi penawar setelah lelah penantian. Dan obat bagi keletihannya sebagai orang tua tunggal bagi kami. Nhah itu dia Wida!
“Ibu! Itu Wida, bu!” aku berteriak girang membayangkan ibu juga mengalami euphoria sepertiku. Kepala dan jilbabku bergoyang ke sana kemari mencari-cari sosok ibu di antara deretan penjemput yang berdiri di sepanjang pagar batas di depan pintu terminal kedatangan.
Seorang perempuan tua yang pucat dan lesu terjatuh di pojok sana, jauh dari tempatku berdiri. Seorang lelaki sigap menangkap tubuhnya yang terkulai. Aku berlari mendekat ke arahnya dan mengabaikan Wida yang entah melihatku atau belum.
Perempuan tua itu, ibu, yang segenap jiwa raganya ia berikan untuk kami, anak-anaknya. Tuhan menjemputnya terlebih dulu sebelum beliau berhasil menjemput anak bungsu terkasihnya di hari ini.
Seorang penulis yang baik adalah penulis yang tidak terpaku pada ide yang pertama kali keluar. Baginya, ide adalah sesuatu yang bisa terus bergerak, berubah. Bahkan sebenarnya, ide pertama yang keluar dalam benaknya adalah ide yang paling biasa-biasa saja, kurang orisinal. Mengapa/ Karena otak kita biasa melakukan asosiasi terdekat. Semakin lama kita memikirkan ide tersebut, kita akan mencari sesuatu yang asosiasinya tidak dekat. Lama-lama kita akan menemukan sesuatu yang lebih orisinil dibandingkan ide pertama kita. Salah satu cara untuk mengolah ide tersebut adalah dengan menggunakan sistem Scamper. Scamper adalah sembilan prinsip berpikir kreatif yang diciptakan oleh Alex Osborn dan emudian disusun ulang oleh Bob Eberle. Kesembilan prinsip berpikir itu adalah: S (Substitute) = Mengganti C (Combine) = Kombinasi A (Adapt) = Menyesuaikan M (Magnify/Modify) = Memperbesar/Memodifikasi P (Put to other use) = Memanfaatkan untuk kegunaan lain E (Eliminate) = Menghapus R (Rearrange/Reverse) = Menyusun kembali/Membalik Scamper disusun berdasarkan pendapat bahwa segala sesuatu yang ‘baru’ sebenarnya adalah penambahan atau modifikasi dari segala sesuatu yang ada. Contohnya, handphone adalah modifikasi dari telepon. Tablet seperti Ipad adalah modifikasi dari komputer. Di dunia kepenulisan, hal yang sama juga berlaku. Kisah Titanic, misalnya, tidak lebih dari versi lain Romeo dan Juliet. Begitu juga dengan cerita Cinderella dan Beauty and The Beast. Menerapkan Scamper dalam Menulis S (Substitute) = Mengganti. Anda boleh mengambil sebuah cerita yang Anda sukai dan mengganti semua hal yang bisa Anda ganti. Ini bukan mencuri, selama orang lain tidak bisa mengenali darimana ‘inspirasi’ cerita Anda. Misalnya Anda mengambil Twilight, tetapi yang manusia adalah cowok, ditemani satu peri cantik dan satu penyihir. Genrenya bukan romantis melainkan komedi. Lokasinya di pedalaman papua. Tetapi plotnya sama persis dengan Twilight. C (Combine) = Kombinasi Anda juga bisa menggabungkan beberapa cerita untuk mendapatkan satu cerita yang menarik. Misalnya: Gabungan dari Finding Nemo dan Lord of the Ring, atau Inception dengan Twilight dan Titanic. Atau Ayat-ayat Cinta dengan Ada Apa dengan Cinta? A (Adapt) = Menyesuaikan Sebelum Anda, sudah ada orang-orang yang memikirkan masalah yang mungkin tengah Anda hadapi. Anda bisa memanfaatkan pemikiran ini demi kepentingan Anda. Cara mengolah plot siapa yang Anda Anda bagus? Cara menciptakan tokoh siapa yang bisa saya tiru? Apa yang bisa saya gabungkan dengan ide saya? M (Magnify/Modify) = Memperbesar/Memodifikasi Cara lain mendapatkan ide adalah dengan memperbesar atau memperluas ide Anda. Ini, menurut saya adalah salah satu bagian terpenting menjadi penulis. Jika Anda hanya meniru karya penulis lain, Anda tidak memberikan makna baru bagi pembaca. Perempuan jatuh cinta pada lelaki? Sudah banyak sekali. Lalu di mana kelebihan karya Anda? Apakah ada nilai ekstra dalam karya Anda? Bagaimana Anda bisa menciptakan tulisan yang lebih dalam, lebih luas atau lebih bermakna dibandingkan karya yang sudah ada sebelumnya? P (Put to other use) = Memanfaatkan untuk kegunaan lain Apakah buku Anda bisa digunakan untuk hal yang lain selain hiburan atau hadiah? Misalnya, buku Anda bisa menjadi buku panduan, inspirasi, dan lain-lain. Dengan demikian, Anda bisa meluaskan lingkup pemasaran buku Anda. E (Eliminate) = Menghapus Selain menambahkan ide, Anda juga bisa membuang sebagian dari ide tersebut. Coba perhatikan, bagian mana yang bisa Anda abaikan? Bagaimana kalau buku ini dibagi dua bagian saja? Bagaimana kalau cerita ini dipadatkan? Mana yang perlu? Mana yang tidak perlu? Proses ini akan Anda hadapi saat Anda mulai mengedit naskah. Mungkin Anda akan merasa sulit karena Anda merasa semua bagian cerita Anda ‘terlihat’ utuh dan tidak boleh diotak-atik. Namun jika Anda bersedia mengotak-atik cerita Anda, bermain dengan ide menghapus dan memadatkan, maka bisa jadi tulisan Anda akan jauh lebih kuat. R (Rearrange/Reverse) = Menyusun kembali/Membalik Intinya, kita mengubah langkah kita dalam menyusun cerita. Dari yang biasanya menulis dari awal, kita memulai dengan dari belakang.
Menatap tajam ke
arahku, Hendrik menyelusupkan rasa dan getar yang tak biasa. Aku ketakutan. Kami
sedang berteduh di bawah jembatan tol. Hujan mulai rintik dan kami memutuskan
untuk berteduh sembari beristirahat setelah seharian mengamen dari kampung ke
kampung.
Hendrik memetik
gitarnya lalu dengan lembut melantunkan lagu Kitaro. Children without father.
Titik air mataku tak tertahan, tak urung aku luruh dan hanyut bersama hujan dan
suara emas Hendrik. Luruh dan jatuh ke pelukannya. Pelukan Kitaro-ku.
Kami
telah sama-sama menggelandang sejak puluhan tahun lalu, saat kami sama-sama
kehilangan ayah kami yang terkena bencana alam di masa negeri berselimut kalut
kekacauan korupsi dan berbagai macam mafia.
Kuedarkan
pandangan dan berakhir saat menatap beton jembatan tol di atas kami. Kami
sekeras baja, Kitaro-ku –Hendrik- tak pernah melepaskan aku dari ‘pelukan’nya.
Dia yang selalu ada di dekatku, memahami luka-luka dan rintihanku. Dia
menguatkan aku dan yang paling menakjubkan adalah dia selalu menjagaku. Tak
terbersit dalam pikirannya sekalipun untuk menodaiku, meski banyak sekali
gelandangan, pemulung, pengamen dan anak jalanan di sekitar kami melakukannya.
Hendrik serupa malaikatku. Bahkan menyentuhku saja tidak pernah ia lakukan.
“Kita pulang
yuk”, ajak Hendrik sambil menggamit lenganku. Kami berjalan bergandengan tangan
menyusuri sisa hujan. Aku ketakutan. Getar suaranya tak biasa, tubuhnya hangat di tengah hujan yang dingin. Aku ketakutan.
Hendrik mungkin sekali sakit. Kehilangan dia adalah ketakutanku saat ini.
“Aku lapar……..”,
tak bisa kusembunyikan nyanyian perutku.Dan sebenarnya aku mengkhawatirkan
Hendrik. Dia harus makan dan minum obat.
“Kita makan sepiring
berdua?”, tanyanya. Uang di tangan memang tak seberapa. Aku mengangguk saja,
dengan rencana akan makan satu dua suap saja dan meninggalkan sisanya untuk
dihabiskan Hendrik. Dia lebih membutuhkan daripada aku.
“Ikhlaskan
suamimu”,suara itu membangunkan
lamunanku. Suara Irish, manajer kami yang selama seminggu ini menemaniku dan
Hendrik melalui hari-hari berurai air mata di ICU rumahsakit.
Berhasil melalui
sepuluh tahun perjuangan kami meniti kesuksesan setelah masa-masa di bawah
jembatan tol dan melawan penyakit Hendrik, pada akhirnya perpisahan kami tak
terelakkan.
“Aku
mencintaimu, Hendrik. Dulu, sekarang, selamanya”, bisikku di telinganya yang
kini beku dan dingin. Tangan kananku memeluk Kitaro-ku yang terbujur kaku.
Tangan kiriku meraba perutku yang mulai membuncit, a child without father mengalun sepi.
Aku memandangi kaos
kaki basah yang kuseret dengan hati remuk. Hiks. Adakah ini pertanda ada yang
kurang bersih dalam uangku yang kugunakan untuk berhaji.
Airmataku juga meleleh,
tak terhindarkan. Aku berjalan antara shofa marwa dengan perasaan hancur. Adakah aku ini suci dzohir
batin ataukah seperti yang kusangkakan pada diriku sendiri, aku setengah bersih
setengah kotor. Mungkin seperberapa bersih seperberapa kotor.
Salahku juga tadi tidak
membawa kaos kaki cadangan. Sehingga kaos kaki yang kupakai terpaksa basah
karena tak kulepas selama aku masih dalam kondisi ihram melakukan umroh ini.
Dan kenapa aku ragu kaos kaki ini masih suci atau tidak, karena aku pergi ke
hammam / kamar mandi untuk buang air kecil. Hanya di dalam kamar mandi
tertutup, aku bisa membuka kaos kaki sebelum melakukan hajat itu. Tetapi selama
melewati ruang hammam yang terbuka, aku tidak mungkin melepaskannya. Jadi siapa
tahu di lantai ruang hammam yang terbuka itu suci semua, meski petugas
kebersihan selalu berusaha membersihkannya. Siapa yang tahu? Siapa tahu tetap
ada yang tidak suci sepanjang jalan itu, dan ada yang nyangkut atau meresap di
kaos kaki basahku?
Astaghfirullah.
Membayangkannya saja, aku meringis, pilu. Bagaimana kalau tahu kenyataannya.
Dan hatiku yang sensitive, yang selalu menghubungkan suatu peristiwa dan
keadaan dengan tingkah lakuku sendiri, berderak. Hatiku berdecit. Merintih.
Astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah, atas semua dosa,kesalahan, kekhilafan,
keberanian melanggar laranganMu. Ampuni aku ya Allah,ampuni aku.
Aku berjalan sepanjang
shofa marwa dengan kaos kaki basah yang entah kesuciannya dengan berlinang air
mata. Sa’i yang tak mungkin kubatalkan begitu saja karena ini sa’i dalam umroh
wajib yang sedang kulakukan. Tinggal sedikit lagi perjuangan, kemudian tahalul
bercukur dan aku baru bebas. Selesai. Paripurna. Dan aku baru bisa melepas kaos
kaki itu.
Yang terus berkecamuk
dalam kepalaku adalah kemungkinan –kemungkinan tercampurnya uang hajiku dengan
penghasilan yang kurang halal sepenuhnya. Hiks.
Dan kaos kaki basah
yang entah itu membasahi dan mungkinkah mengotori, astaghfirullahaladziim
semoga tidak, rute sepanjang shofa marwa. Apakah itu artinya aku mengotori
rumah Allah ini, masjidil haram. Dan membuat beberapa orang yang berjalan di sepanjang bekas jejak kaos kakiku
ikut terkotori,astaghfirullah. Betapa dosa membawa dosa dan menambah dosa di
atas dosa. Kotor menularkan kotor, menambah salah di atas salah.
Astaghfirullaaaaah……………hatiku remuk redam.
Apakah ada uang yayasan
yang dititipkan padaku sebagai bendahara ada yang terlewat pembukuannya,
meskipun sedikit? Dan karenanya,uangku sedikit tercampuri? Aku mulai
menduga-duga.
Sebenarnya menjadi
bendahara yayasan untuk periode lama, karena belum pernah diganti selama empat
kali periode, amat berat bagiku. Ada banyak pengeluaran di luar pengeluaran
resmi, seperti bensin,waktu dan tenaga yang kugunakan untuk mengambil uang sewa
kios – kios milik yayasan setiap bulannya. Sebelumnya tak terbersit tentang hal
ini, tetapi hembusan dari ibuku membuatku mengindahkannya. Lalu mulai
memasukkan pengeluaran ini sejak entah kapan. Hanya dua ribu rupiah sih per
bulan. Tetapi dengan akumulasi sekian lama, beberapa tahun, jumlahnya mungkin
jadi tidak sedikit lagi. Apakah itu yang mengotoriku? Mengotori uangku?
Termasuk yang kugunakan untuk membayar ongkos haji?
Kepalaku
menggeleng-geleng sendiri, menyadari kemungkinan datangnya kotor itu. Entahlah.
Ataukah karena
kadang-kadang aku tidak sepenuhnya merampungkan tugas desain dari klien dengan
optimal? Kadang karena diburu deadline atau mengerjakan sesuatu sambil momong
anak-anak, aku mengerjakannya asal saja? Apakah yang seperti itu termasuk
mengotori ?entahlah.
Aku terus meraba-raba.
Tapi sedih, itu yang jelas kurasakan.
Menangis meratap di
ujung bukit marwah di akhir perjalanan sa’iku. Bersujud di batu – batuan di
sana sambil merintih. Alangkah pilu dan pahitnya rasa berdosa.
Aku pulang ke maktabku
di Hafair dengan masih berlinang air mata. Sembab dan masih dengan hati yang
meleleh.
Atau…..ah,aku ingat.
Aku ingat kejadian beberapa hari lalu sehubungan dengan kaos kaki. Apakah itu
penyebab semua kekacauan dan kegelisahanku ini?
Entahlah
**
“Wah, nduk. Kaos kakiku bolong”
Mbah Karmi, perempuan
tua yang satu kamar denganku di maktab, menunjukkan jempolnya yang keluar
nongol dari dalam kaos kakinya.
Aku mengintip sedikit isi
tas cangklong biruku yang selalu kubawa ke mana mana selama haji ini.
Ada. Aku masih membawa
kaos kaki cadangan. Tetapi ah, aku segan dan ogah meminjamkan kaos kakiku untuk
mbah Karmi. Kenapa ya? Kenapa ogah? Mungkin sifat pelitku yang mendarah daging
selama tinggal di Indonesia tetap belum mau pergi meski sekarang sedang berhaji
di haromain.
“Hmm..gimana ya mbah?”
“Ya…aku tidak bisa
thawaf dengan kaos kaki berlubang”
Mbah Karmi
menepi,menjauhi ka’bah.
Dan aku?
Aku tak juga punya
kesadaran untuk meminjamkan kaos kaki cadanganku kepadanya.
Pelit dan juga
sifat-sifat lain yang negative ternyata memang susah sembuhnya.padahal
pembekalan waktu sebelum haji jelas sekali dikatakan bahwa shodaqoh kita selama
perjalanan haji akan dilipatgandakan. Bahkan sampai puluhan ribu kali lipat.
Tapi ya itu, susah saja untuk tidak pelit.
Jadi kebiasaan kita
selama hidup akhirnya menentukan akhir dari kehidupan kita, ya seperti itu
mungkin kejadiannya. Kita sadar kalau perbuatan ini baik, sikap ini buruk,
tetapi bawah sadar kita yang lebih bicara.
**
“Jadi tidak kau
pinjamkan kaos kakimu untuk mbah Karmi?”
“Tidak”
“Menyesal?”
“Banget. Apalagi setelah peristiwa kaos kaki basah itu.”
“Kamu
menyangka kaos kaki basah itu karena karma tidak meminjamkan kaos kakimu?”
“Iya.
Mungkin. Mungkinkah?”
“aku
tak tahu”
Malaikat
itu terduduk. Memegang sepasang kaos kaki.
“Kamu mungkin lupa kisah
itu. Kisah seorang pelacur memberi minum seekor anjing menggunakan sepatunya”
“Aku ingat. Seorang
sahabatku mualaf bahkan terus menerus mendengungkan cerita itu padaku. Cerita yang
sangat menyentuh hatinya. Menurutnya itu adalah metafora paling hebat.
Bayangkan,katanya. Gambarannya adalah seorang pelacur, seseorang yang dianggap
hina dina. Kehausan, kondisi yang menyedihkan. Memberi minum pada seekor
anjing, binatang yang dianggap najis. Pakai sepatu lagi meminumkannya, sesuatu
yang dipakai di kaki, di injak-injak. Sudah total itu super jelek-jelek, tetapi
dengan semua itu, ia sang pelacur masuk surga. Subhanallah….. sahabat saya yang
mualaf terus- terusan bertasbih dan kagum. Mungkin kisah itu juga yang
menariknya hingga ia masuk Islam. Menurutnya metafora air sebagai yang
diberikan pelacur kepada anjing artinya adalah kehidupan”
“Kamu tahu kisah itu”
“Dan ikut sekali lagi
terkagum-kagum karena sahabat saya yang mualaf membahasnya sedemikian rupa”
“Apa simpulannya?”
“kedermawanan pelacur
itu menjadi sebab ia dimasukkan ke surga”
“kamu tahu?”
“Iya.”
“Lalu kenapa tidak memilih menjadi
dermawan saja?”
“Iya.kenapa
tidak? Lupa.”
“halah! Alasan!”
“Iya,
saya pelit. Saya mengaku”
“Hanya
untuk kaos kaki”
“Iya”
“Hanya
untuk dipinjamkan. Bukan untuk diberikan.”
“Iya”
“Nhah!”
Aku terduduk. Termangu. Menatap sepasang
kaos kaki yang dipegang malaikat itu. Penyesalanku semakin dalam. Melebihi
penyesalan saat aku harus menyeret kaos kakiku sepanjang shofa marwa kala itu.
Tak ada lagi kesempatan kini kembali
untuk merubah semuanya. Takkan ada kesempatan lagi. Aku bahkan tak mampu
menangis lagi, meratap lagi. Ini terminal sebelum terminal akhir. Bagaimana
nasibku?
“Aku tidak jadi masuk surga?
Demikiankah?”
Terlalu lancang pertanyaanku. Tetapi aku
penasaran.
“kamu masih ingin masuk surga?”
“tentu saja”
“Kenapa?”
“karena Dia ada di surga kan?”
“Apa Dia tidak ada di neraka? Katamu,
Dia ada di mana – mana”
Aku terdiam. Siapalah aku? Aku bahkan
tidak mengenal Dia dengan baik,mungkin malaikat ini benar.
“Dia ingin kamu menemuiNya”
“What?!! Beneran? Di neraka ya…?”
Kata terakhirku melemah dengan nada yang
sangat sangat putus asa.
“Di mana kamu ingin ketemu?”
“Ya, di surga lah”
“Ya sudah deh.”
“Oh ya?”
Aku hampir berteriak kegirangan, namun
urung karena teringat sesuatu……
“Kaos kaki itu?”
Sudut mataku melirik sepasang kaos kaki
yang dipegangnya.
“Hmmm… ibu mertuamu, ingat?”
“Ya.kenapa dengan ibu mertuaku?”
“Dia pernah membuang kaos kakimu yang
tergeletak sembarangan di rumahnya”
“Oh…? Aku tak tahu itu”
“Memang kamu tak tahu. Ketika ia haji ke
Mekkah, penyesalannya karena pernah membuang kaos kakimu tanpa sepengetahuanmu
menjadi jadi. Dia kemudian membeli sepuluh lusin kaus kaki di sana dan dia
bagikan. Dia sedekahkan atas namamu”
“Oh….Subhanallah….Subhanallah..”
“Di mana ibu mertuaku?”
Tiba-tiba aku kangen beliau. Kadang rasa
benci dan cinta bersatu. Memang demikian menantu dan mertua ditakdirkan
berhubungan, cara yang aneh.
“sudah di surga, menantikanmu juga.
Pergilah ke sana dan berterima kasihlah atas shodaqoh kaos kaki yang dilakukannya
untukmu.”
Senyumku mengembang. Sesaat kemudian
sempat melirik sepasang kaos kaki yang dibawa malaikat, sebelum kakiku
melangkah melewati pintu masuk ke surga.
“Ini kaos kakiku”
Sang malaikat menyeringai mengolok –olok
aku. Oh…..
Biodata
Penulis.
Dian Nafi. Pecinta purnama, penikmat hujan. Setia
dalam pencarian, penjelajahan. Pimred Majalah Digital De Magz. Pemenang Favorit
Lomba Cerpen ROHTO 2011. Menang Lomba Menulis Bareng Ahmad Fuadi-penulis Negeri
Lima Menara. Dan berbagai lomba menulis lainnya. Penulis Novel Mayasmara dan 8
buku solo-duet serta 47 Antologi lainnya. Di antaranya: Twinlight
(KotaKata) Titik Balik (Leutika), LL Serendipity (IndiePublishing) Be Strong
Indonesia (#writers), Para Guru Kehidupan (Gerai Buku) Bicaralah Perempuan (Leu
Prio) For The Love of Mom (Etera Imania)Karyawan Gokil (Rumah Ide),Dear Love
(Hasfa) Balita Hebat (Jendela-Zikrul Hakim), Man Jadda Wada Series- Berjalan
Menembus Batas (Bentang), Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama) 101
Ide Bisnis Online (GPU), Gado-gado Poligami (Elex Media) Twit@ummihasfa.
For reservation, review and any other collaboration, please do not hesitate to contact at 085701591957 (sms/wa) DM twitter @DeMagz_ https://twitter.com/DeMagz_ DM IG @vivademak https://www.instagram.com/vivademak/ inbox FB Page: https://www.facebook.com/demagz/ Line: diannafi57 Email: demagzcie@gmail.com