Membranding ulang DEMAK
“lir ilir lir ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar
Cah angon- cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu- lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro
Dodot iro- dodot iro kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Yo surak’o surak hiyoo”
Lagu itu sangat familier di telinga sebagian masyarakat
Indonesia, utamanya penduduk pulau Jawa. Lagu gubahan Sunan Kalijogo
yang sarat makna. Salah satunya adalah makna perubahan.
Transformasi diri untuk bergerak aktif, senantiasa
bekerja keras, pantang menyerah tak peduli seberapa besar halangan yang
menghadang.
“cah angon”, alias pemuda. Sebagaimana diketahui,
generasi muda memegang salah satu peran sebagai iron stock alias stok
pemimpin masa depan bangsa.
Didadanya lah telah disematkan tanda sebagai agent of change, anashir taghyir,
agen perubahan. Kesadaran akan peran serta kepekaan yang besar
terhadap lingkungan sekitarnya melekat erat di sosok pemuda.
Pun demikian di kota Demak tercinta ini. Sangat naif
untuk meletakkan tanggung jawab akan lambatnya perkembangan kota ini
di tangan para orang tua, para pemangku jabatan, apalagi kepada para
sesepuh. Demak selama ini Cuma dipandang sebelah mata. Hanya sebagai
daerah perlintasan dari Semarang, menuju Kudus, Jepara, atau bahkan
hanya untuk menuju Surabaya lewat pantura. Entah apa jadinya bila Demak
tidak berada di pantura, mungkin tidak akan terdengar kiprahnya.
Banyak kalangan muda yang gerah dengan keadaan kota
ini, kemudian bertekad keluar dari Demak, menempuh pendidikan tinggi
diluar kota, atau bahkan keluar negeri, demi untuk tidak terkungkung
dalam deselerasi kota ini. Tidak salah, akan tetapi yang disayangkan
adalah efek lanjutannya. Terlalu sering pemuda, yang berstatus sebagai
mahasiswa, merasa malu untuk mengakui daerah asalnya, Demak. Bahkan
ini tidak berhenti di kalangan mahasiswa saja, para perantau lebih sering
mengaku sebagai warga Semarang, atau Kudus, jarang Demak. Entah apa
sebabnya.
Apakah mereka, atau bahkan kita, lupa akan betapa
besarnya pengaruh Demak dulu, ya DULU. Nostalgia setengah milenium itu
seharusnya membuat kita bangga untuk menceritakan daerah asal kita,
Demak.
Siapa yang tak kenal Demak Bontoro kala itu ? sebuah
daerah rawa bernama Glagahwangi yang kemudian disulap oleh seorang pemimpin
visioner, Raden Patah, dengan sokongan Walisongo, menjadi sebuah kasultanan
yang menguasai hampir 90% luas pulau Jawa. Yang bahkan pasukan yang
dikirimkannya mampu membebaskan Batavia dari cengkeraman Portugis, dan
berubah menjadi Jayakarta, atau sekarang Jakarta, ibukota negara ini.
Sebuah kasultanan dengan pabrik galangan kapal terbesar
se- Asia Tenggara, dengan produksi mencapai 1000 kapal per bulan dengan
kapasitas 1600 ton. Sungguh jumlah yang sangat menakjubkan, sebagai
perbandingan, galangan kapal terbesar di Indonesia masa penjajahan Belanda
hanya mencapai 6 kapal dengan kapasitas 140 ton/ bulan. ( Parlindungan,
buku Tuanku Rao hlm 659)
Kemudian betapa berpengaruhnya keberadaan Masjid
Agung Demak, yang kala itu bisa diibaratkan sebagai gedung MPR, dimana
rapat dewan Wali selalu dilakukan disini untuk membahas bagaimana perkembangan
dakwah Islam selanjutnya.
Tak lupa, betapa posisi strategis Demak yang berada
tepat dimuka selat Muria, yang mampu menjadikannya saingan Malaka sebagai
pelabuhan tujuan kapal-kapal dagang mancanegara.
Mereka, atau bahkan kita, para pemuda ini, lupa akan
hal itu semua.
Adanya kudeta dan pergolakan internal yang mengakibatkan
runtuh dan tenggelamnya nama Demak sebagai kasultanan Islam pertama
di pulau Jawa, seakan menjadi pembenaran akan acuhnya kita akan nasib
perkembangan kota Demak.
Seakan ini merupakan kartu truf untuk terus melepaskan
tanggung jawab akan lambannya pertumbuhan ekonomi dan sosiologi kota
ini.
Kita seakan lupa akan sindiran yang jelas tersurat
di lagu Lir Ilir tersebut.
Tidak pernah ada cerita, syairnya berubah menjadi
“…pak angon –pak angon…”. Dulu, sekarang, dan nanti, syairnya
akan terus menyebut “..cah angon..”, pemuda.
Lalu bagaimana caranya ? disinilah keunggulan kaum
muda. Pergaulan yang dinamis dengan dunia luar, kemudahannya untuk beradaptasi
dengan pikiran- pikiran baru yang konstruktif akan mampu menghasilkan
solusi-solusi jitu aplikatif.
Penulis mencoba mengerucutkan pada satu hal saja
kali ini, yakni bagaimana kembali membuat nama Demak dikenal di seantero
Nusantara.
Kondisi geografis Demak kurang mendukung bagi sektor
pariwisata, tidak ada gunung, tidak ada areal perbukitan, pantai pun
berombak kecil karena menghadap ke Laut Jawa. Tapi, kita punya Masjid
Agung Demak dan makam Sunan Kalijogo di Kadilangu. Sebuah data pernah
menyebutkan jumlah wisatawan yang mengunjungi dua obyek ini sekitar
800.000 wisatawan dalam kurun waktu satu tahun, atau sekitar 66.667
per bulan, atau 2000 orang per hari. Jumlah yang sangat fantastis. Memang
tidak setiap hari seramai itu, tapi ini adalah angka rata-rata yang
sangat besar, sebagai gambaran, jumlah ini hanya kalah dari kunjungan
ke Borobudur.
Apakah kita sadar akan hal ini? Saya rasa tidak.
Hanya sebagian saja yang merasakan dampak kunjungan ini. Padahal ini
adalah salah satu bukti Demak dikenal oleh banyak orang. Minimal oleh
sekitar 800 ribu tadi. Kita, warga Demak, malah mungkin sama sekali
tidak tertarik untuk mengelola jumlah tersebut menjadi sebuah keunggulan.
Dan sekali lagi kita menyerahkan tanggung jawab pengelolaan kepada pemerintah
daerah, para orang tua, sesesepuh, dan pihak lain, tapi tak pernah kita.
Ini salah. Justru dengan otak kreatif yang kita miliki,
kita harus bersedia menerima estafet tanggung jawab ini. Dengan cara
apa ? cintai Demak dan budayanya.
Pernahkah kita terpikir untuk menyulap andong, dokar
dan alat transportasi penghubung areal parkir ke Masjid dan makam menjadi
kendaraan wisata yang sarat informasi ? coba bayangkan, jika para kusir
tersebut berseragam ala abdi dalem kasultanan Demak tempo dulu, dengan
gaya ramah menawarkan tumpangan, kemudian sepanjang perjalanan, para
penumpang/ peziarah tersebut diberikan cerita naratif deskriptif tentang
kali Tuntang, tentang sejarah pendirian Masjid, tentang siapa-siapa
saja yang pernah berkuasa di Demak, yang tentu saja sambil diiringi
lagu “lir Ilir” sebagai backsound nya.
Kemudian kita juga mampu menggerakkan masyarakat
sekitar jalan yang dilalui para peziarah tersebut menjadi sebuah kampung
wisata, kampung cendera mata, atau bahkan sebuah kampung penginapan
yang warganya menguasai seluk beluk sejarah Demak. Jadi saat jagong tamu, kita bisa
memberikan penjelasan tentang sejarah Demak kepada para wisatawan tersebut.
Yang kita jual tak sekedar lancarnya kendaraan, bagus dan uniknya cendera
mata, atau hangatnya minuman, tapi sebuah pengalaman tak terlupakan
dari sebuah kota bernama Demak.
Masih banyak daerah yang bisa dikelola secara lebih
apik, dan menghasilkan kunjungan yang berulang. Morosari, dengan Bedono
nya, Gribigan, Cowati, dan Banteng Mati dengan mitos yang melekat disana.
Wonosari dengan desa Jambu Lele nya. Mlatiharjo dengan konsep IT nya,
atau bahkan Kali Tuntang, sebuah kali bersejarah yang melintasi Demak
yang hingga saat ini tak pernah dianggap sebagai aset wisata.
Wah ini sulit, tidak mudah. Benar, bahkan untuk berjalan
pun kita perlu belajar berdiri terlebih dulu. Tidak ada yang instan.
Seperti halnya perjuangan Raden Patah saat merubah daerah rawa-rawa
tersebut menjadi kasultanan besar.
Jadi Cah angon , siapkah kita menek blimbing kuwi ?,
meski lunyu, tetep kudu dipenek, kanggo
mbasuh dodot iro.
Tetap kreatif dan menginspirasi.
Sahirul Iman
Lahir di semarang 3 juli 1981, dibesarkan di Demak,
bersekolah disini, dimulai dari SDN Katonsari 3, berlanjut ke SMPN 1
Demak, dan kemudian ke SMAN 1 Demak.
Sekitar 10 tahun di Jakarta untuk kuliah dan bekerja,
tetap tidak bisa membuatnya melupakan kota Demak. Kembali ke kota tercinta
ini pada tahun 2010 untuk kemudian membangun sebuah komunitas bernama
DEMAKREATIF.
Selalu yakin, bahwa Demak akan segera bangun dan
turut memberi warna bagi kehidupan Nusantara.
Tetap kreatif dan menginspirasi
0 Comments:
Posting Komentar