Membaca Arsitektur Seperti Membaca Teks – Mengapa Kita Perlu Metodologi Semiotika-Hibrida
Arsitektur selalu lebih dari sekadar bentuk. Ia adalah bahasa—bahasa ruang, bahan, bunyi, arah, cahaya, hingga ritual yang menghidupinya. Tetapi selama ini, banyak pembacaan arsitektur hanya berhenti pada level visual: bentuk, gaya, proporsi.
Padahal dalam tradisi Nusantara, makna ruang tidak pernah berdiri sendiri.
Ia selalu lahir dari kosmologi, mitos, memori sejarah, dan gestur tubuh manusia dalam ruang itu sendiri.
Untuk menjembatani kompleksitas tersebut, buku ini memperkenalkan Metodologi Semiotika-Hibrida—sebuah pendekatan yang menggabungkan:
-
Semiotika Peircean dan Saussurean
-
Fenomenologi Merleau-Ponty dan Heidegger
-
Antropologi ruang
-
Kosmologi lokal Nusantara
-
Narasi kultural dan memori kolektif
Dari pendekatan itu, lahirlah sebuah alat baca baru: Kerangka Analisis 9-Lapisan, mulai dari ikon dasar hingga pengalaman eksistensial.
Di dalamnya, peneliti diajak melihat:
-
Tanda visual
-
Tanda material
-
Tanda ritual
-
Tanda naratif
-
Tanda kosmologis
-
Tanda sosial-politik
-
Tanda temporal
-
Atmosfer dan fenomena
-
Pengalaman tubuh (embodiment)
Untuk memudahkan penelitian lapangan, buku ini juga menyertakan Instrumen Observasi Ruang yang aplikatif—mulai dari pemetaan simbol, pengukuran orientasi, penelusuran narasi warga, hingga pemetaan atmosfer.
Contoh-contoh yang dibahas mencakup:
-
Masjid Agung Demak
-
Menara Kudus
-
Pura Besakih
-
Rumah Gadang Minangkabau
-
Rumah Tongkonan Toraja
-
Kota-kota pelabuhan: Semarang, Surabaya, Batavia
Buku ini bukan sekadar kajian arsitektur—melainkan undangan untuk melihat ruang dengan cara baru: pelan, peka, dan penuh kesadaran.
Karena setiap ruang bicara.
Kita hanya perlu belajar mendengarkan.
Dapatkan bukunya di sini >> https://play.google.com/store/books/details?id=9iCbEQAAQBAJ







