Buku Baru Dian Nafi di Kampung Heritage Kajoetangan
Pagi itu saya berjalan pelan di lorong sempit Kampung Heritage Kajoetangan, jantung warisan tua di tengah kota Malang. Udara masih dingin, aroma kopi hitam menembus celah pintu rumah bata, suara radio Jawa terdengar dari beranda.
Di sinilah, di antara tembok-tembok bata peninggalan kolonial, saya memulai naskah buku ini:
Memoir Perjalanan dan Arsitektur.
Sebuah upaya kecil menulis ulang percakapan saya dengan rumah-rumah tua dan orang-orang yang menjaganya.
Kajoetangan bukan sekadar gang-gang sempit. Ia saksi bagaimana Malang tumbuh di tangan orang biasa: warga lokal, keluarga kampung, para penjual di warung sudut gang, bapak tua penjahit yang menempati rumah bergaya Indis peninggalan zaman Hindia Belanda.
Dulu, kawasan ini adalah permukiman elite Eropa — banyak rumah dirancang dengan sentuhan perencana seperti Thomas Karsten, arsitek legendaris yang menanam ide “kota taman” di Malang. Dinding bata yang tebal, jendela lebar, ventilasi tinggi — semua dibuat untuk memeluk iklim tropis, tapi tetap membawa rasa Eropa.
Sekarang, rumah-rumah itu diwarisi warga lokal Malang. Mereka bukan bangsawan kolonial, bukan tuan kebun — mereka orang kampung kota, yang tiap pagi menyapu teras, menjemur pakaian di halaman, membuka pintu lebar kalau tetangga butuh singgah.
Saya berbincang dengan ibu-ibu di beranda, mendengar cerita tentang kakek-nenek mereka yang dulu bekerja di rumah-rumah besar ini. Tentang bagaimana generasi sekarang merawat tembok-tembok yang catnya mulai rapuh, tapi tak pernah mereka relakan roboh. Tentang bagaimana kampung ini berubah jadi Kampung Wisata Heritage, di mana turis berjalan kaki menyusuri gang, memotret ornamen jendela, menengok mural sejarah, dan mampir minum teh di rumah warga.
Lewat buku ini, saya merangkai sketsa, foto, dan narasi pendek — semacam album jalan kaki — agar siapa pun bisa merasakan denyut Kajoetangan. Bahwa di balik tembok bata tebal itu, bukan hanya sejarah kolonial yang hidup, tapi juga semangat orang kampung untuk merawat warisan.
Di Kajoetangan, saya belajar arsitektur bukan hanya soal bentuk, tapi juga cara ruang bercerita. Rumah-rumah di sini bicara pelan — tentang adaptasi tropis, tentang politik ras di masa lalu, tentang ekonomi kota, juga tentang keberanian warga mempertahankan warisan meski zaman terus menekan.
Kalau kelak kau singgah ke Malang, jangan hanya mampir ke alun-alun. Sisihkan satu jam, berjalanlah di gang-gang Kajoetangan. Sapalah orang-orang kampung, tengok pintu kayu jati mereka yang masih berdiri di dinding bata, dan rasakan sendiri: di sini, kenangan masih bernafas di setiap tembok.
Dan semoga lewat buku ini, kita semua ingat — merawat bangunan tua, berarti merawat ingatan siapa kita.
— Dian Nafi
Bisa dibeli di google play book atau google book