TAPAK TANGAN


Cerpen by Dian Nafi

TAPAK TANGAN

Aku tidak mau mengakuinya tapi tampak jelas jika pusat duniaku sesaat , entah berapa lama, berpindah pada  seseorang yang agak gila ini. Dia mengaku sebagai seorang pekerja kreatif. Okelah, mari kita menyebutnya begitu.
 “Ummi jatuh cinta” empat tahun usianya tapi cukup cerdik untuk memahami apa yang terjadi dan cukup berani untuk menyampaikan kejujuran.
“Kata siapa?” seorang pekerja kreatif yang agak gila di depanku bertanya dengan kumisnya yang tersenyum penuh kemenangan. Dia menyentuh  rambut perempuan kecil itu dengan telapak tangannya yang putih.
“Rambut yang bagus” pujian untuk seorang balita yang berada di pihaknya, padahal dia anakku.
 Dia membuka telapak tangannya, mengajak anak perempuanku give him five, give him ten. Dua telapak tangan yang bagus dengan garis –garis tapak tangan yang jelas M nya. Lurus, rapi.
“Bagaimana bisa?” meloncat begitu saja pertanyaanku.
“Apanya?” pekerja kreatif agak gila itu balik bertanya.
“Garis tapak tangan kamu bagus. Kenapa bertemu aku? Garis tapak tanganku tak bagus, karenanya aku boleh melakukan kegilaan.”
Aku menyimpan pedihku karena dia mungkin tidak segila yang aku kira tapi aku mengasumsikannya demikian. Maaf. Bahkan dia lebih muda dari fotonya. Aku menyukai gayanya berpakaian. Muda banget untuk seumuran dia yang sepuluh tahun lebih tua dariku, padahal aku sendiri sudah 34.
“Aku sudah memikirkannya. Kita akan menulis trilogi untuk cerita kita yang kemarin” seperti biasa pekerja kreatif setengah gila itu mengalihkan pembicaraan.
Lalu kami tenggelam dalam genangan ide dan banjir lahar kata-kata dan sejenak melupakan fakta bahwa aku semakin jauh terlibat dengan suami orang.

“Apa ada yang salah dengan selingkuh tulisan?” tanyanya, tanyaku juga.
Selingkuh tetap saja selingkuh. Dan itu tidak sama dengan setia. Tak lagi mempunyai pemahaman atas selingkuh dan setia  membuat kami menikmati sesuatu entah apa. Dan ada rasa bersalah selalu singgah sesudahnya. Tidakkah cukup membuktikan bahwa keterlibatan dan ketenggalaman ini adalah suatu kesalahan yang biasa disebut sebagai dosa.

“Tolong kembali memutar dan drop in lagi ya” tergesa aku menelpon pekerja kreatif setengah gila itu. Dan kukira dia menyambutnya dengan gembira, tentu saja dia senang dengan caraku menahannya pergi. Seperti aku juga seringkali senang dengan caranya selalu kembali dan membuatku tak bisa berpaling.
“Ada yang belum usai?” senyum dengan kumisnya yang menantang benar-benar hampir meruntuhkan duniaku. Dia turun dari mobil yang mengantarnya berputar kembali untuk menemuiku untuk yang kedua kalinya di pertemuan pertama kami, di hari yang satu-satunya ini.
Kami kembali berjalan beriringan, kali ini hanya berdua. Karena aku sudah membawa pulang ke rumah anak perempuan kecilku yang tadi menemani kami berdua. Putri cantikku yang selalu merindukan ayahnya di surga dan selalu senang jika ada pria dewasa di dekatnya, dia sudah banyak membantu tadi. Memecah kekakuan antara kami yang sebelumnya hanya bertemu di maya. Saatnya berdua saja, seperti yang selalu kami tuliskan bersama dalam karya-karya kami.
Dia terus bicara tentang film, tulisan,  konser, tour, buku dan apa saja. Dan aku, perempuan kesepian yang rapuh, sudah cukup nyaman hanya dengan berjalan bersisian dengannya. Kesatuan jiwa seindahnya dipadu dalam ikatan yang sah. Namun  meski dia seseorang yang sangat nyaman untuk dijadikan belahan jiwa , figur yang bisa dijadikan ayah bagi anak-anak siapa saja, tetapi mungkin bukan calon yang ideal menurut  nilai-nilai dalam keluarga besarku.. Kami berbeda di banyak hal, tetapi sebenarnya mirip di banyak hal lainnya. Tapi ada yang bilang jika dua orang berbeda gender saling tertarik dan kemudian  bertemu di masjid kuno dengan tiang dari Majapahit ini, akan menikah pada suatu saatnya nanti. Kalian pernah dengar mitos ini?
**
“Kenapa?” dia bertanya heran melihatku mengambil langkah mundur lalu mengambil tempat disebelah kirinya berjalan setelah sebelumnya berada di sebelah kanannya.
“Ooooo…” ada seorang gila beneran dengan pakaian setengah telanjang berjalan dari arah berlawanan.
“Hehehe..orang gila takut orang gila” aku yang mengaku gila juga menyembunyikan malu di wajahku yang memerah ketika sesaat tadi berada di belakang punggung pekerja kreatif setengah gila yang aku gilai. Nyamannya punggung yang bukan milikku, jadi lupakan untuk bersandar di sana apalagi memeluk pinggangnya.

Oh No!” sekali lagi aku terkejut. Kali ini hendak melarikan diri Karena kami berpapasan dengan serombongan orang yang hendak pergi ke makam untuk kirim doa bagi sesepuh yang dihauli hari ini. Tapi aku mengurungkan niatku. Pekerja kreatif setengah gila ini telah meluangkan waktu dan energinya untuk terbang 45 menit dari kota yang sangat jauh, melalui rangkaian kerja dua hari dua malam  yang melelahkan, balik lagi dari kota sebelah selatan kotaku setelah menempuh dua jam pulang-pergi kembali ke utara untuk bertemu aku, dan aku tidak cukup memberinya penghargaan? Tuan rumah macam apa aku ini? Kekasih macam apa aku ini yang meninggalkan kekasihnya begitu saja karena rasa segan yang terinternalisasi dalam diriku - bagian dari segerombolan manusia yang disebut sebagai keluarga, yang menjunjung tinggi sesuatu yang disebut dengan kehormatan?
Sejurus kemudian tak terhindarkan lagi pertemuan telapak tangan bergaris tapak bagus itu  dengan telapak tangan-tangan  saudara ayahku, anak anak saudara ayahku, saudaraku seayah ibu. Yang kusebut terakhir termasuk yang istimewa. .
“Ini si penulis resep yang juga masih harus berjuang terus demi kesehatan putranya” aku mengenalkannya ketika mereka berjabat tangan.
Pekerja kreatif setengah gila itu akhirnya bertemu dengan orang-orang  yang selama ini juga menjadi bagian dari cerita-ceritaku yang mengalir bersama rasa dan rahasiaku. Terutama mengenai si istimewa itu, karena pekerja kreatif setengah gila itu menaruh perhatian terhadap adik-adik dan juga anak-anakku. Tak perlu meragukannya, dia – si pekerja kreatif setengah gila itu – mungkin diciptakan Tuhan ketika Dia sedang jatuh cinta. Sehingga ia sebenarnya mungkin bukan manusia, tetapi hati. Hati yang punya telapak tangan dengan garis tapak tangan yang bagus.

Tuhan memang baik.
“Keren” kata dia suatu saat ketika kami sedang berdiskusi dan aku mengutip satu ayat yang bahkan secara eksplisit menuliskan ajakan Tuhan agar siapa saja  kembali kepadaNya dan  memasuki rumahNya. penuh dengan rasa kepuasan dan juga kepuasan Tuhan atas seseorang itu. Rodhiyatan Mardhiyah.
“Ya iyalah, keren. Gusti Allah gitu lhoh” aku senang karena tanpa sengaja membawanya dan juga diriku sendiri, pada satu lagi kesadaran bahwa Dia begitu keren dan hebat.
Sehebat skenario-Nya pada hari dimana aku bertemu darat untuk pertama kalinya dengan  guru yang sahabat sekaligus  sephia-ku  bernama pekerja kreatif setengah gila itu. Ternyata aku tak harus tenggelam dalam kegilaan yang lebih jauh seperti bersamanya menikmati perselingkuhan dengan lunch atau dinner yang romantis di sebuah resto, mengobrol panjang tak jelas di suatu lobby hotel tempatnya menginap, di gelap gedung yang memutar film romantis, di rinai hujan di lorong lorong kota lama, di bangku stasiun kereta. Tuhan menyelamatkan aku, karena di hari satu-satunya itu aku harus ada di sekitar rumah saja karena ada acara haul (peringatan hari kematian) sesepuhku.
Sungguh terselamatkan, jauh dari bayangan ketakutanku yang tak beralasan.
 “Aku akan datang ke kota sebelah utara dekat kotamu purnama depan” dibalik telpon terdengar suara baritonnya yang hangat dan selalu membuatku merindu untuk ditelponnya lagi.
“Mungkin malam sebelum aku melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya, aku akan menginap di kota sebelah selatan  kotamu” suaranya semakin berat  dan entah kenapa aku hampir lunglai mendengar kalimatnya barusan.
Seperti kelinci hendak diterkam serigala, aku menggigil dan menggelepar-gelepar.
Lalu bayangan akan dua tangan saling menggenggam, berjalan bergandengan di kota lama, mungkin menonton sebuah film yang selalu dia hembus-hembuskan belakangan ini dan berakhir di bangku stasiun menunggu kereta yang akan membawanya jauh ke kota timur kotaku. Dengan kepalaku bersandar di pundaknya, duduk bersisian di bangku yang gambarnya selalu ada di note-ku dan note-nya..
Membayangkannya saja jantungku berdegup tak karuan dan kurasakan aliran hangat menjalar di sekujur pembuluh darah dan semua bagian tubuhku. Aku sejenak pingsan dalam ketakberdayaanku melawan tirani bersembunyi di balik topeng bernama cinta.  Yang tidak bisa aku fahami dan menimbulkan kecemasan lebih lanjut - karena ini mungkin sekali tanda-tanda aku stress - adalah aku terlambat datang bulan selama hampir dua minggu. Oops..belum pernah terjadi sebelumnya kecuali aku hamil. Dan karena tidak terjadi pembuahan karena bertemu saja bahkan belum pernah, jadi ini lebih berbahaya daripada hamil. Aku alami gejala depresi dan ketakutan akan entah apa. 
Duduk bersamanya di tempat suci ini dengan wajah bersihnya dan telapak tangan yang bergaris tapak tangan bagus menghentikan sejenak desir waktu.
 “Malu ah” katanya ketika aku menawarkan supaya dia duduk minum dan makan di rumahku saja. Daripada dia haus dan lapar, karena kami hanya duduk di serambi masjid tanpa hidangan kecuali perbincangan yang hangat tapi ngalor ngidul.
“Iya juga. Ada banyak sekali orang dan keluarga besar datang berkumpul di rumah. Ya sudahlah disini saja”aku menurut saja.
Cuaca cerah, Senin kan ya? Tapi kulihat banyak sekali wisatawan religi di kompleks masjid ini padahal ini bukan hari libur. Kami  tersembunyi di keramaian, bahkan mungkin ada yang mengira kami juga wisatawan dan bukan dua orang gila yang melalui perjalanan dan kisah gila sebelum mendarat bersama di serambi masjid kuno ini.
Kukira pertemuan darat kami menghentikan kegilaan kami di maya. Tapi ternyata tidak. Segalanya masih sama seperti sebelum pertemuan. Kegilaan yang sama.
Aku kadang berada di ruang cemburu dan ragu tiap kali mengingat bahwa ia bukan milikku. Tapi juga di labirin ceria dan hangat mengingat ia tetap setia menelponku dua tiga kali sehari.. Seringkali muncul pertanyaan dalam benakku  sendiri, tapi  tak pernah kutanyakan  padanya, ke mana istrinya. Kenapa bukan istrinya yang menerima kelimpahan perhatian dan kasih sayang ini. Siapa yang tidak normal di antara mereka berdua, istrinya atau pekerja kreatif setengah gila itu. Jangan tanya diriku, kalau aku jelas tidak normal karena mau-maunya terlibat dengan suami orang. Bukan pula untuk bersama dalam pernikahan kedua,hanya untuk bersama menumpahkan kegelisahan dan mengawinkan ide serta tulisan –tulisan kami. Kami menyebutnya sebagai persahabatan.
“Aku mulai capek dengan permainan dan perjalanan yang tak berujung ini” aku menyampaikan keluhan.
“Kamu mau pergi?” pekerja kreatif setengah gila itu bertanya dengan kalimat tertahan seperti menahan pertahananku yang hampir tak bertahan lagi.
Lagu cintaku, cintamu, cinta kita, Nicky Ukur terus menerus diputar melatari percakapan ini. Dari sejumlah novel dan film sering disitir, yang paling disesali bukanlah perpisahan, tapi pertemuan. Kenapa bertemu? Kenapa?
Tak ada jawaban kecuali jerawat yang datang setelah bertahun lamanya tak menyinggahi pipi si perempuan rapuh kesepian. Mungkinkah itu karena ia menyentuh telapak tangan yang garis tapak tangannya bagus ?








Tentang Penulis:
aku bw kcl.jpg

Dian Nafi. Lulusan Arsitektur Undip berlatar belakang keluarga santri. Mencintai buku sejak usia dini. Pecinta purnama, penikmat hujan. Setia dalam pencarian, penjelajahan. Mengelola konsultan arsitektur, penerbitan dan PAUD sambil mengasuh dua yatimnya. Pimred Majalah Digital De Magz. Pemenang Favorit Lomba Cerpen ROHTO 2011. Peserta Terpilih dalam Workshop Kepenulisan Cerita Anak bersama PBA & KPK 2011. Menang Lomba Menulis Bareng Ahmad Fuadi-penulis Negeri Lima Menara. Dan berbagai lomba menulis lainnya. Penulis Novel Mayasmara dan 8 buku solo-duet serta 52 Antologi .Di antaranya:  Twinlight, Titik Balik, LL Serendipity, Be Strong Indonesia, Para Guru Kehidupan, Bicaralah Perempuan, For The Love of Mom, Karyawan Gokil, Dear Love, Balita Hebat, Gado-gado Poligami (ElexMedia) Berjalan Menembus Batas (Bentang), Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama) 101 Ide Bisnis Online (GPU), Detik Demi Detik (Pena Oren) Twit@ummihasfa.



Membranding ulang DEMAK

Membranding ulang DEMAK

“lir ilir lir ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar
Cah angon- cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu- lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro
Dodot iro- dodot iro kumitir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Yo surak’o surak hiyoo”

Lagu itu sangat familier di telinga sebagian masyarakat Indonesia, utamanya penduduk pulau Jawa. Lagu gubahan Sunan Kalijogo yang sarat makna. Salah satunya adalah makna perubahan.
Transformasi diri untuk bergerak aktif, senantiasa bekerja keras, pantang menyerah tak peduli seberapa besar halangan yang menghadang.
“cah angon”, alias pemuda. Sebagaimana diketahui, generasi muda memegang salah satu peran sebagai iron stock alias stok pemimpin masa depan bangsa.
Didadanya lah telah disematkan tanda sebagai agent of change, anashir taghyir, agen perubahan.  Kesadaran akan peran serta kepekaan yang besar terhadap lingkungan sekitarnya melekat erat di sosok pemuda.
Pun demikian di kota Demak tercinta ini. Sangat naif untuk meletakkan tanggung jawab akan lambatnya perkembangan kota ini di tangan para orang tua, para pemangku jabatan, apalagi kepada para sesepuh. Demak selama ini Cuma dipandang sebelah mata. Hanya sebagai daerah perlintasan dari Semarang, menuju Kudus, Jepara, atau bahkan hanya untuk menuju Surabaya lewat pantura. Entah apa jadinya bila Demak tidak berada di pantura, mungkin tidak akan terdengar kiprahnya.
Banyak kalangan muda yang gerah dengan keadaan kota ini, kemudian bertekad keluar dari Demak, menempuh pendidikan tinggi diluar kota, atau bahkan keluar negeri, demi untuk tidak terkungkung dalam deselerasi kota ini. Tidak salah, akan tetapi yang disayangkan adalah efek lanjutannya. Terlalu sering pemuda, yang berstatus sebagai mahasiswa, merasa malu untuk mengakui daerah asalnya, Demak. Bahkan ini tidak berhenti di kalangan mahasiswa saja, para perantau lebih sering mengaku sebagai warga Semarang, atau Kudus, jarang Demak. Entah apa sebabnya.
Apakah mereka, atau bahkan kita, lupa akan betapa besarnya pengaruh Demak dulu, ya DULU. Nostalgia setengah milenium itu seharusnya membuat kita bangga untuk menceritakan daerah asal kita, Demak.
Siapa yang tak kenal Demak Bontoro kala itu ? sebuah daerah rawa bernama Glagahwangi yang kemudian disulap oleh seorang pemimpin visioner, Raden Patah, dengan sokongan Walisongo, menjadi sebuah kasultanan yang menguasai hampir 90% luas pulau Jawa. Yang bahkan pasukan yang dikirimkannya mampu membebaskan Batavia dari cengkeraman Portugis, dan berubah menjadi Jayakarta, atau sekarang Jakarta, ibukota negara ini.
Sebuah kasultanan dengan pabrik galangan kapal terbesar se- Asia Tenggara, dengan produksi mencapai 1000 kapal per bulan dengan kapasitas 1600 ton. Sungguh jumlah yang sangat menakjubkan, sebagai perbandingan, galangan kapal terbesar di Indonesia masa penjajahan Belanda hanya mencapai 6 kapal dengan kapasitas 140 ton/ bulan. ( Parlindungan, buku Tuanku Rao hlm 659)
Kemudian betapa berpengaruhnya keberadaan Masjid Agung Demak, yang kala itu bisa diibaratkan sebagai gedung MPR, dimana rapat dewan Wali selalu dilakukan disini untuk membahas bagaimana perkembangan dakwah Islam selanjutnya.
Tak lupa, betapa posisi strategis Demak yang berada tepat dimuka selat Muria, yang mampu menjadikannya saingan Malaka sebagai pelabuhan tujuan kapal-kapal dagang mancanegara.
Mereka, atau bahkan kita, para pemuda ini, lupa akan hal itu semua.
Adanya kudeta dan pergolakan internal yang mengakibatkan runtuh dan tenggelamnya nama Demak sebagai kasultanan Islam pertama di pulau Jawa, seakan menjadi pembenaran akan acuhnya kita akan nasib perkembangan kota Demak.
Seakan ini merupakan kartu truf untuk terus melepaskan tanggung jawab akan lambannya pertumbuhan ekonomi dan sosiologi kota ini.
Kita seakan lupa akan sindiran yang jelas tersurat di lagu Lir Ilir tersebut.
Tidak pernah ada cerita, syairnya berubah menjadi “…pak angon –pak angon…”. Dulu, sekarang, dan nanti, syairnya akan terus menyebut “..cah angon..”, pemuda.
Lalu bagaimana caranya ? disinilah keunggulan kaum muda. Pergaulan yang dinamis dengan dunia luar, kemudahannya untuk beradaptasi dengan pikiran- pikiran baru yang konstruktif  akan mampu menghasilkan solusi-solusi jitu aplikatif.
Penulis mencoba mengerucutkan pada satu hal saja kali ini, yakni bagaimana kembali membuat nama Demak dikenal di seantero Nusantara.
Kondisi geografis Demak kurang mendukung bagi sektor pariwisata, tidak ada gunung, tidak ada areal perbukitan, pantai pun berombak kecil karena menghadap ke Laut Jawa. Tapi, kita punya Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijogo di Kadilangu. Sebuah data pernah menyebutkan jumlah wisatawan yang mengunjungi dua obyek ini sekitar 800.000 wisatawan dalam kurun waktu satu tahun, atau sekitar 66.667 per bulan, atau 2000 orang per hari. Jumlah yang sangat fantastis. Memang tidak setiap hari seramai itu, tapi ini adalah angka rata-rata yang sangat besar, sebagai gambaran, jumlah ini hanya kalah dari kunjungan ke Borobudur. 
Apakah kita sadar akan hal ini? Saya rasa tidak. Hanya sebagian saja yang merasakan dampak kunjungan ini. Padahal ini adalah salah satu bukti Demak dikenal oleh banyak orang. Minimal oleh sekitar 800 ribu tadi. Kita, warga Demak, malah mungkin sama sekali tidak tertarik untuk mengelola jumlah tersebut menjadi sebuah keunggulan. Dan sekali lagi kita menyerahkan tanggung jawab pengelolaan kepada pemerintah daerah, para orang tua, sesesepuh, dan pihak lain, tapi tak pernah kita.
Ini salah. Justru dengan otak kreatif yang kita miliki, kita harus bersedia menerima estafet tanggung jawab ini. Dengan cara apa ? cintai Demak dan budayanya.
Pernahkah kita terpikir untuk menyulap andong, dokar dan alat transportasi penghubung areal parkir ke Masjid dan makam menjadi kendaraan wisata yang sarat informasi ? coba bayangkan, jika para kusir tersebut berseragam ala abdi dalem kasultanan Demak tempo dulu, dengan gaya ramah menawarkan tumpangan, kemudian sepanjang perjalanan, para penumpang/ peziarah tersebut diberikan cerita naratif deskriptif tentang kali Tuntang, tentang sejarah pendirian Masjid, tentang siapa-siapa saja yang pernah berkuasa di Demak, yang tentu saja sambil diiringi lagu “lir Ilir” sebagai backsound nya.
Kemudian kita juga mampu menggerakkan masyarakat sekitar jalan yang dilalui para peziarah tersebut menjadi sebuah kampung wisata, kampung cendera mata, atau bahkan sebuah kampung penginapan yang warganya menguasai seluk beluk sejarah Demak. Jadi saat jagong tamu, kita bisa memberikan penjelasan tentang sejarah Demak kepada para wisatawan tersebut. Yang kita jual tak sekedar lancarnya kendaraan, bagus dan uniknya cendera mata, atau hangatnya minuman, tapi sebuah pengalaman tak terlupakan dari sebuah kota bernama Demak.
Masih banyak daerah yang bisa dikelola secara lebih apik, dan menghasilkan kunjungan yang berulang. Morosari, dengan Bedono nya, Gribigan, Cowati, dan Banteng Mati dengan mitos yang melekat disana. Wonosari dengan desa Jambu Lele nya. Mlatiharjo dengan konsep IT nya, atau bahkan Kali Tuntang, sebuah kali bersejarah yang melintasi Demak yang hingga saat ini tak pernah dianggap sebagai aset wisata.
Wah ini sulit, tidak mudah. Benar, bahkan untuk berjalan pun kita perlu belajar berdiri terlebih dulu. Tidak ada yang instan. Seperti halnya perjuangan Raden Patah saat merubah daerah rawa-rawa tersebut menjadi kasultanan besar.
Jadi Cah angon , siapkah kita menek blimbing kuwi ?, meski lunyu, tetep kudu dipenek, kanggo mbasuh dodot iro.

Tetap kreatif dan menginspirasi.



Sahirul Iman
Lahir di semarang 3 juli 1981, dibesarkan di Demak, bersekolah disini, dimulai dari SDN Katonsari 3, berlanjut ke SMPN 1 Demak, dan kemudian ke SMAN 1 Demak.
Sekitar 10 tahun di Jakarta untuk kuliah dan bekerja, tetap tidak bisa membuatnya melupakan kota Demak. Kembali ke kota tercinta ini pada tahun 2010 untuk kemudian membangun sebuah komunitas bernama DEMAKREATIF.
Selalu yakin, bahwa Demak akan segera bangun dan turut memberi warna bagi kehidupan Nusantara.

Tetap kreatif dan menginspirasi

AUDISI


DIBUKA ! Audisi naskah untuk terbitan DeMagz  edisi Mei  2012.
silakan mengirim naskah ke kbcahaya@gmail.com. subject file: DM_judul naskah_nama penulis.

TEMA : Pendidikan
Naskah yang dicari;
1.       Cerpen (6-8 halaman A4. Spasi 1,5. TNR 12)
2.       Puisi (maks. 1 halaman A4)
3.       Essai (2-5 halaman A4. Spasi 1,5. TNR 12)
4.       Wawancara Tokoh (bebas)
Untuk naskah terseleksi yang kami pilih dan kami tayangkan pada edisi Mei  2012, akan mendapatkan bingkisan menarik dari kami. Jangan lupa sertakan biodata naratif singkat dan biodata lengkap termasuk alamat & telpon.
Selain naskah di atas, kami juga membuka peluang bagi rekan-rekan untuk mengirim naskah lainnya.
Saran dan kritik teman-teman, kami tunggu. Selamat menulis J

"DeMagz Writing Festival 2012"


DASAR PEMIKIRAN

Salah satu penentu kemajuan peradaban ialah adanya sumber daya manusia yang memiliki wawasan luas. Pada kenyataannya, wawasan atau cara pandang bisa dibangun dari berbagai hal, antara lain, mengamati, menggali informasi, membaca dan kemudian menuliskan pikirannya.
Berangkat dari pemikiran tersebut dan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, Majalah Digital DeMagz  menyelenggarakan "DeMagz Writing Festival 2012" lomba menulis feature atau karangan khas yang mengandung segi human interest dan unsur sastra tentang sosok inspiratif yang ada di Kabupaten Demak.

TUJUAN

Secara sederhana, menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media berdasarkan imajinasi, fakta dan informasi. De Magz Writing Festival 2012 merupakan ajang bagi masyarakat, mahasiswa dan pelajar di Demak  untuk meningkatkan pengetahuan, baik melalui riset atau membaca dan kemudian menuliskannya sehingga mempunyai dampak menambah pengetahuan bagi individu yang menulis atau yang membaca. Sosok yang dieksplorasi dan kemudian ditulis dalam feature diharapkan mempunyai nilai menumbuhkan bagi masyarakat Demak pada khususnya.

TEMA LOMBA
Orang Demak Orang Inspiratif

KETENTUAN LOMBA
1.     Lomba terbuka untuk masyarakat umum, mahasiswa/pelajar yang bertempat tinggal di Demak dan tidak dikenakan biaya pendaftaran.
2.     Karya tidak melanggar ketentuan tentang SARA dan norma kesusilaan.
3.     Karya harus hasil karya pribadi (orisinal), bukan terjemahan, saduran, atau mengambil ide karya yang pernah dibuat.
4.     Karya bersifat baru dan belum pernah ditayangkan di media manapun atau diikutsertakan pada kompetisi lainnya.
5.     Karya yang melanggar Ketentuan Umum akan didiskualifikasi dan dinyatakan gugur.
6.     Semua tulisan yang diikutsertakan dalam De Magz Writing Festival 2012 menjadi milik panitia.
7.     Karya lomba ditulis dalam bahasa Indonesia dengan gaya bahasa bebas, dengan batas minimal 700 kata.
8.     Peserta diperbolehkan mengirim lebih dari satu tulisan
9.     Naskah dan biodata singkat peserta dikirim ke alamat email: kbcahaya@gmail.com, subject email: DeMagz_Judul Naskah_Nama Penulis. Paling lambat 1 Agustus 2012.
10.  Pengumuman pemenang lomba 28 Agustus 2012


KRITERIA PENILAIAN
1.     Kesesuaian dengan tema
2.     Kreativitas pengolahan ide
3.     Penggunaan bahasa yang benar
4.     Mempunyai nilai dan manfaat bagi kehidupan

HADIAH
1.     Juara I             : Paket Buku Senilai Rp 300rb   dan piagam penghargaan
2.     Juara II           : Paket Buku Senilai Rp 200rb   dan piagam penghargaan
3.     Juara III          : Paket Buku Senilai Rp 150rb   dan piagam penghargaan
4.     Juara Harapan I sampai dengan VII masing-masing berhak mendapatkan …………

KETENTUAN MENGIKAT
1.     Semua keputusan hasil penjurian adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Kami tidak melayani gugatan atau protes dari peserta lomba baik melalui telepon, fax, sms, maupun email.
2.     Panitia tidak melayani surat-menyurat.
3.     Dewan juri berhak membatalkan keputusannya, jika di kemudian hari diketahui karya pemenang lomba melanggar karya cipta orang lain (plagiat) atau mengikuti lomba sejenis atau telah dimuat di koran/majalah.
4.     Hak cipta tetap ada pada penulis, sedangkan panitia memiliki hak untuk mempublikasikannya.