Menenun Cahaya dari Benang Kehidupan: Kisah Srikandi Penenun Asa dari Kampung Ntobo



Menenun Cahaya dari Benang Kehidupan: Kisah Srikandi Penenun Asa dari Kampung Ntobo




Di Kampung Ntobo, Bima, suara alam berpadu dengan denting alat tenun.
Suara kayu bergesekan pelan, berirama seperti napas bumi. Di tengah ruangan sederhana, seorang perempuan duduk dengan punggung tegak dan pandangan tenang. Tangannya cekatan, menganyam benang warna-warni menjadi sehelai kain indah.
Namanya Yuyun Ahdiyanti, perempuan yang menenun bukan hanya kain, tetapi juga asa dan martabat bagi banyak perempuan di desanya.

Kisahnya dimulai dari keprihatinan sederhana: banyak perempuan di Ntobo yang kehilangan ruang untuk berkarya.
Mereka terjebak antara tuntutan ekonomi dan minimnya akses untuk bekerja layak. Yuyun melihat itu, merasakan getirnya, dan memilih untuk bertindak.

Dengan modal kecil dan semangat besar, ia mendirikan komunitas tenun perempuan.
Tujuannya bukan hanya untuk menghidupkan tradisi, tapi untuk menghidupkan kembali jiwa perempuan yang hampir padam oleh kerasnya hidup.

Setiap helai benang yang disentuh Yuyun seolah membawa doa.
Ia percaya, menenun adalah meditasi; setiap simpulnya menyimpan sabar, setiap warna mencerminkan harapan.
Ia melatih perempuan desa bukan hanya agar mereka bisa membuat kain, tapi agar mereka bisa membaca makna di baliknya, bahwa kerja tangan perempuan adalah bentuk perlawanan yang lembut terhadap kemiskinan dan keputusasaan.

Yuyun mengajarkan teknik menenun dengan bahan alami: pewarna dari daun indigo, akar mengkudu, dan kulit pohon.
Ia menyatu dengan alam, tak ingin warisan leluhur itu rusak oleh bahan kimia dan keserakahan pasar.
Dalam setiap helai kain, tersimpan harmoni antara manusia dan bumi.

Kini, komunitas tenun yang ia bangun bukan hanya menghasilkan karya indah yang diminati pasar, tetapi juga menjadi ruang belajar, tempat perempuan saling menguatkan.
Yuyun menciptakan rumah tenun yang terasa seperti pelukan — hangat, penuh solidaritas, dan penuh cinta.

Ketika membaca kisahnya, aku merasa seolah mendengar suara masa lalu yang berbisik di antara helai kain itu.
Tentang nenek-nenek yang dulu menenun di bawah lampu minyak, tentang cerita yang dijahit dalam motif-motif khas Bima — rimpu, tembe nggoli, sara safu.
Kain bukan sekadar benda. Ia adalah narasi panjang peradaban, doa yang disulam dalam warna.

Yuyun memelihara narasi itu dengan cinta.
Ia tidak sekadar menjaga tradisi agar tidak punah, tetapi mengubahnya menjadi sumber kehidupan baru.
Anak-anak muda yang dulu enggan menenun kini kembali ke rumah tenun, membawa ide desain baru, membuat motif yang relevan, memasarkan secara digital.
Tradisi dan teknologi bertemu dalam tangan-tangan yang berani bermimpi.

Dalam refleksiku, kisah Yuyun seperti benang yang mengikat waktu.
Ia mengajarkanku tentang makna keberlanjutan dalam konteks manusia.
Bahwa menjaga warisan budaya bukan hanya soal melestarikan bentuk, tapi juga menghidupkan nilai — nilai gotong royong, kesabaran, dan kasih.

Aku jadi teringat ibuku yang dulu juga sering duduk di lantai, menjahit baju sekolah kami dengan tangan.
Di setiap jahitannya, ada cinta yang diam tapi nyata.
Begitu juga dengan Yuyun, perempuan yang menjahit masa depan desanya dengan benang-benang kasih yang tak terlihat tapi kuat.

Kadang kita terlalu sibuk mengejar hal besar, lupa bahwa perubahan sering dimulai dari ruang kecil: dari dapur, dari bale-bale bambu, dari suara tenun yang pelan tapi konsisten.
Yuyun mengingatkan kita bahwa kerja perempuan desa bukan pekerjaan kecil; itu adalah pilar bangsa yang berdiri dalam senyap.

Kini, berkat kerja kerasnya, kain tenun Ntobo tidak hanya menjadi komoditas ekonomi, tetapi simbol kemandirian dan martabat.

Ia telah membangun jaringan pemasaran berbasis komunitas, bekerja sama dengan UMKM lokal dan desainer muda.
Namun yang paling indah bukanlah laba yang didapat, melainkan rasa percaya diri yang tumbuh di dada perempuan-perempuan Ntobo.

Dari mereka yang dulu takut bermimpi, kini lahir pengrajin, pelatih, bahkan wirausahawati.
Yuyun menyebut mereka bukan “penerima manfaat”, tapi “penenun kehidupan”.
Kalimat itu menancap dalam di hatiku. Karena sejatinya, kita semua sedang menenun — dengan cara masing-masing.

Dalam cahaya sore yang temaram, aku membayangkan Yuyun masih di sana, tangannya tetap menari di atas alat tenun.
Setiap helai benang yang melintas menjadi metafor tentang kesabaran dan pengharapan manusia.
Dan aku belajar sesuatu hari ini bahwa keindahan tidak lahir dari kemewahan, melainkan dari ketekunan dan cinta.

Yuyun Ahdiyanti adalah wajah nyata Semangat Astra untuk Indonesia, ia menenun perubahan dengan kelembutan, membangun martabat dari hal-hal sederhana, dan membuktikan bahwa kerja perempuan desa adalah cahaya yang menjaga bangsa agar tetap



Tidak ada komentar:

Posting Komentar