Fakta Dalam Fiksi
STATUS dr sebuah karya tulis menentukan bagaimana pertanggungjawabannya dan bagaimana naskah boleh digunakan.
baca juga:
Kiat Membuat Plot TwistKata fiksi/novel di sampul buku secara otomatis menggugurkan kewajiban penulis untuk membuktikan kebenaran dari semua pernyataan di dalam buku itu.
Betapa pun "bohong2an" kejadian berikut segala unsur2 yg ditulis, penulis tidak boleh dituntut.
Seharusnya begitu.Kewajiban pembuktian kebenaran dan pengajuan bukti oleh penulis adalah salah satu STANDAR yg membuat fiksi jadi fiksi (atau sebaliknya, nonfiksi menjadi nonfiksi).
Nonfiksi WAJIB memberi pembuktian, Fiksi tidak.
baca juga:
Menulis Ide dan DraftMisal: Kamu bikin NOVEL berlatar Majapahit pakai nama Gajah Mada sbg tokoh. Di sana kamu bilang klo Gajah Mada perompak.
Status Novel scr otomatis menyatakan:
1. Majapahit & GM di buku itu BUKAN Majapahit & GM yg sama dg buku sejarah. Semua jd FIKSI2. Kalaupun seluruh manusia Indonesia dan dunia akhirat sejagat raya tiba2 percaya klo GM adalah perompak, itu bukan salah kamu. Itu jd kesalahan semua orang yg yg menganggap nyata info di dalamnya padahal jelas statusnya NOVEL yg FIKSI.
Ada yg gagal berliterasi.Fiksi tidak punya kewajiban untuk tunduk setia pada kenyataan, termasuk ketika naskah itu Historical FICTION.
Jadi, tidak perlu lagi bilang "Buktikan kalau GM memang seperti itu".
Jawabannya sederhana: Sosok bernama sama dalam novel BUKAN gambaran sosok aslinya.Yg bisa dilakukan adalah bikin penelitian. Misal: Representasi Gajah Mada dlm Novel Majapahit.
Di sini bisa DIPERBANDINGKAN gmn sosok GM digambarkan dlm novel dg data dr BUKU NONFIKSI Sejarah.
Kalau tidak serupa ya tidak apa2, karena: Salah satu Standar FIKSI adlh imajinasi.
Fiksi atau Non Fiksi
Pernah baca disclaimer di sampul: "karya ini fiksi, segala kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan belaka"?
Sbnrnya disclaimer ini tdk diperlukan kalau sudah ada status Novel Fiksi di sampulnya.
Pencantuman perlu dilakukan KALAU penulisnya merasa khawatir saja3. Walau ada kata "Majapahit" dan "Gajah Mada" di dalamnya, novel tulisan kamu itu TIDAK BOLEH dijadikan sumber rujukan ilmiah di luar aspek kesastraannya. Apalagi jadi rujukan sejarah.
Status Fiksi menyeret seluruh isi novel, trmasuk segala aspek nonfiksi di dlmnya.
Jadi, TIDAK BOLEH menyatakan dalam sebuah penelitian sejarah: Gajah Mada adalah perompak (lalu ngasih footnote dr novel sbg referensi).
Kata Novel/Fiksi membatasi bagaimana naskah itu boleh digunakan.
Tips Menulis Novel: WRITER'S BLOCKApa pun yang masuk ke dalam naskah fiksi, otomatis jadi fiksi.
Jadi, gak perlu kegeeran juga kalo ada temen kita yg penulis pake nama kita jadi nama tokoh. Mau semirip apa pun deskripsi tokoh, tetap tidak boleh dianggap itu adalah kita.
Krn itu bukan biografi.Saya bukan ahli hukum, tapi sepertinya "meresahkan masyarakat" adalah salah satu alasan yg bisa menyeret karya fiksi ke ranah hukum. Coba ditanya sama ahli hukum.
Ini pun menurut sy tidak jelas. Kalau yg gagal paham status FIKSIONAL adlh masyarakatnya, kenapa jd fiksi yg salah?Sebaliknya, status Fiksi ini juga secara otomatis mengesahkan peneliti sastra utk membahas karya menggunakan teori Sastra.
Misal: ada kata Poem di sampul buku. Pencantuman kata ini secara otomatis menyatakan klaim bahwa buku itu buku puisi yg SAH dibahas secara sastra.
baca juga:
Tips Menulis Novel: Manajemen KepenulisanKarena jelas, puisi masuk dalam wilayah SASTRA. Tulisan "fiksi, novel, buku puisi, poem, cerpen, dsb" secara otomatis mempersilakan peneliti untuk melakukan pembedahan menggunakan teori2 sastra.Jadi, menurut saya, keliru kalo ada yg bilang karyanya PM bukan puisi sembari di sampulnya ada kata Poem. PM dan penerbitnya sudah menyatakan sendiri kalau naskah itu puisi dan bukan yg lain. SAH kalau mau dibahas pakai teori sastra.
Masalah hasil penelitiannya, lain perkara.Mereka yg menyatakan klo tulisan PM bukan puisi malah bikin areal abu2 yg tidak jelas padahal sbnrnya sudah jelas.
Jgn buat sesuatu jd rancu gara2 cara kita mengapresiasi karya. Di luar statusnya, tetep ada orang yg akan bisa menikmati puisi ala PM.
Ini lain lagi.
Dan menurut saya, menggunakan istilah PoemPM di sampul adalah cara yg bijak dr penerbit. Mereka (sepertinya) sudah tahu bahwa karya ini akan jadi polemik. Bakal ada yg bilang: itu bukan puisi. Seperti ada subteks: Terserah elu. Itu memang Poem ala PM, dan sah sebagai puisi.
Judul atau Naskah Dulu?
Jdi perdebatan2 kmrn yg bilang: "Ini puisi? Kok, puisi kayak gini?"
Adalah perdebatan yg gagal fokus. Secara bentuk, PoemPM tetap puisi. Masalah isi/konten-nya, itu lain lagi.
PoemPM memenuhi standar puisi, kok (bahkan klo pun gak standar, juga gapapa, krn ada KONTRASTANDAR).Udh ah. Gitu aja. Standar dan Kontrastandar, kapan2 aja diomongin, klo lagi mood.
Contoh dikit aja (salah satunya)
Standar Fiksi: Unsur imajinasi dan suara benak.
Kontrastandar Fiksi: Data2 nonfiksi.
Status naskah fiksi/puisi/nonfiksi ttp datang dr klaim penulis/penerbit
baca juga:
Tips Menulis Novel: PREMISBtw, kalau mau sedikit mempelajari ttg bagamana status fiksi dan nonfiksi ini bekerja. Sila browsing2 kasus:
1. Memoirs of Geisha (fiksi) karya Arthur Golden yg diragukan kefiksiannya.
2. Angela's Ashes (nonfiksi memoar) karya Frank McCourt yg diragukan kenonfiksiannya.Contoh lg: Dunia Sophie.
Tau ya Dunia Sophie isinya pengantar pelajaran filsafat? Bahkan, penulisnya bilang Dunia Sophie ditulis utk bantu murid2nya belajar. Boleh nggak Dunia Sophie dikutip sbg referensi teoretis?
TIDAK.
Mengapa? Krn Dunia Sophie diklaim sbg NOVEL.
Btw, inilah berbahayanya. Fiksi bisa lebih berbahaya dr nonfiksi.
Org yg punya kepentingan bisa bikin fiksi (tulisan/film) yg isinya fiksional, dieksekusi seolah2 nonfiksi, dibuatin narasi di luar karya, lalu semua org percaya klo itu kebenaran.
Klo film: Aktor? Fiksi. Titik.
Tambahan, jadi di mana batasan imajinasi dalam fiksi?
Secara konseptual: TIDAK ADA BATAS-nya.
Scara praktik, imajinasi penulis PASTI dibatasi oleh kemampuannya sendiri utk membangun argumen sebab-akibat yg akan bpengaruh pd persepsi atas kemasuk-akalan kejadian fiksional itu.
Fakta, Hukum, Norma, Sosok, Benda, atau apapun yg masuk ke dalam fiksi boleh diubah, dibengkokkan, dibolak-balik, dibongkar, dsb, trgantung pada kemauan penulisnya
Mis: Gravitasi boleh jatuh ke atas. Hitler boleh jotos2an sm Thanos.
Selama?
Tertulis label FIKSI (& anak2nya).
OOT. Status SENI (termasuk fiksi, puisi) bisa jadi indikator demokrasi.
KALAU sampai seniman (incl penulis) ditangkap krn karya seninya, artinya demokrasi = hancur. Pemerintah ud tdk bisa mbedakan realitas/bukan.
Misal: penulis puisi dhukum mati krn puisinya dianggap subversif.
Jadi, kutipan Seno Gumira "Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara" bukan pernyataan main2.
Kalau sastra sampai ditangkap/dibredel krn isinya, lebih baik pindah negara.
Ini serius.
sumber: wisnucuit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar